TEMPO.CO, Makassar - Bekas Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, mengatakan tim hukumnya saat ini sedang menyusun materi hukum untuk mengajukan gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi kerja sama kelola dan transfer instalasi air PDAM Makassar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. "Sebelumnya sudah diajukan, tapi kami tarik kembali karena ada perbaikan materi," kata Ilham, Senin, 6 April 2015.
Ilham menilai ada kekeliruan dalam penetapannya sebagai tersangka. Namun Ilham menolak menjelaskan pertimbangan hukum yang membuat pihaknya menyimpulkan perlu mengajukan praperadilan.
Pengacara Ilham, Nasiruddin Pasigai, membenarkan adanya rencana mengajukan permohonan gugatan praperadilan tersebut. Namun permohonan itu belum akan diajukan secara resmi dalam waktu dekat. "Kami menganggap waktunya belum tepat," kata Nasiruddin.
Nasiruddin mengatakan materi hukum penetapan Ilham sebagai tersangka masih terus dikaji, termasuk pertimbangan untung-rugi bila gugatan jadi dilakukan. "Kami tidak ingin asal seruduk karena jangan sampai klien kami bisa tersudut dengan praperadilan itu."
Ihwal kasus yang menjerat kliennya, Nasiruddin menilai tidak ada penyimpangan dalam kerja sama itu. Proses itu, kata dia, sudah sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Ilham pun, kata dia, hanya memberikan rekomendasi. "Kerja sama sepenuhnya dilaksanakan direksi PDAM."
Nasiruddin menilai rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan yang meminta pemerintah memutus kontrak kerja sama jika merugikan negara tidak bisa serta-merta dilakukan. Sebab pemerintah dan rekanan telah terikat kontrak, sehingga pemutusan sepihak dapat berimplikasi hukum.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha membenarkan adanya gugatan praperadilan dari tersangka kasus dugaan korupsi PDAM itu. "Gugatan praperadilan itu atas nama IAS," kata Priharsa.
Ilham ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur Utama PT Traya Tirta Makassar Hengky Widjaja pada 7 Mei 2014. Keduanya dinilai melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan menyalahgunakan wewenang. Keduanya dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BPK telah melakukan audit untuk menilai kerugian negara akibat kerja sama itu. Nilai kerugian negara menurut audit itu sekitar Rp 38 miliar. BPK juga menemukan adanya potensi kerugian negara dalam tiga kerja sama PDAM dengan pihak swasta lain.
AKBAR HADI