TEMPO.CO, Bangkalan - Petani padi di Desa Telang, Kecamatan Kamal, Bangkalan, Jawa Timur, tetap murung sekalipun panen tahun ini dianggap lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Kegembiraan setelah beranjak dari tanah sawah luruh ketika gabah digiling menjadi beras.
"(Mesin) Penggilingan berasnya sudah tua," kata Lukman Hakim, Kepala Desa Telang, Rabu, 8 April 2015. "Bulir gabah yang digiling patah dan tidak utuh. Harga pun turun."
Menurut Lukman, beras yang patah kurang diminati pembeli. Andai beras putih dan tetap utuh, harganya di pasar bisa setara dengan beras pabrikan, yaitu Rp 9.500 per kilogram. Sedangkan beras yang patah-patah dihargai cuma Rp 6.500 per kilogram. "Kondisi ini membuat keuntungan petani berkurang," ujarnya.
Lukman berharap kondisi ini mendapat perhatian dari pemerintah. Bantuan untuk petani, tutur dia, jangan hanya berfokus pada alat pertanian tapi juga alat setelah panen, yaitu mesin giling padi. "Di desa saya, mesin gilingnya buatan tahun 1970-an, hasilnya beras jadi patah-patah," ucapnya.
Lukman yakin, dengan adanya bantuan mesin giling, keuntungan petani akan semakin meningkat. Di Desa Telang, rata-rata petani menghasilkan gabah kering sebanyak 7 ton per hektare. "Jauh lebih tinggi dibanding tahun lalu di mana per hektare sawah hanya menghasilkan 5 ton gabah," tuturnya.
Adapun harga beras di pasar lokal turun tajam. Di Pasar Jaddih, Kecamatan Socah, harga antara beras giling dan beras pabrikan timpang. "Kalau beras giling petani Rp 7.500 per kilogram, kalau beras merek Lima Jaya Rp 10.500 per kilogram," kata Halimah, seorang pedagang beras.
Dia mengaku harga beras giling memang mengalami penurunan karena biasanya mengikuti waktu panen raya. "Dulu, sebelum panen raya, harga beras giling mencapai Rp 9.000 per kilogram," ujarnya sambil membenarkan bahwa beras patah hanya laku untuk upacara pernikahan atau sunatan.
MUSTHOFA BISRI