TEMPO.CO, Makassar - Langkah Andi Ibra Seldinazis tiba-tiba terhenti. Perhatiannya beralih pada seekor burung berwarna-warni dalam sangkar. Kadang-kadang, bocah 7 tahun ini bermain bersama anak lain yang mengikuti acara jalan santai di Anjungan Losari, Ahad lalu. Tapi, Zidan—panggilan akrab Andi Ibra—nyaris tak pernah melepas pegangan ibunya, Haerani Nur. Zidan memang lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa tubuhnya. “Dia terlambat bicara,” kata Ira—sapaan Haerani.
Pada usia satu tahun pertama, kata Ira, pertumbuhan Zidan normal. Hanya, hingga usianya menjelang 2 tahun, anaknya belum bisa bicara. Karena khawatir, ibu 33 tahun itu membawa anaknya ke dokter anak. Tapi Zidan dinyatakan sehat dan tidak ada masalah. “Dokter bilang, kalau umur 4 tahun belum bicara, nanti kita bertindak.” Hal itu kini akhirnya disesali Ira. “Jika semakin dini penanganan, akan semakin baik untuk tumbuh kembangnya.”
Ira dan Zidan adalah peserta jalan santai yang digagas komunitas Forum Komunikasi Peduli Anak Spesial atau disingkat Fokus. Kegiatan ini sekaligus memperingati Hari Peduli Autisme Sedunia pada 2 April lalu. Jalan santai melalui Jalan Penghibur dan Jalan Ujung Pandang, lalu berkumpul di Anjungan Losari, itu diikuti lima anak penyandang autisme beserta keluarga dan orang dewasa yang peduli autisme.
Kegiatan yang bertema “Autism is Not a Joke” ini merupakan ajang kampanye agar masyarakat menghilangkan penggunaan kata “autis”. Menurut Ketua Fokus, Ni Nyoman Anna M., autisme bukan penyakit dan tidak disembuhkan dengan obat. Mereka disebut penyandang gangguan spektrum autisme.
Menurut Anna, anak dengan autisme sebenarnya pintar dan umumnya memiliki potensi. Jadi, peran orang sekitar, terutama orang tua, penting untuk menggali potensi anaknya. “Kayak kemarin, ada anak sewaktu balita (menyandang autisme) parah. Tapi, tiba-tiba, umur lima tahun bisa bahasa Inggris.”