TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Anti Mafia Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri menilai rencana produk bahan bakar minyak PT Pertamina (Persero) yang baru, Pertalite, bakal tetap menghadirkan peluang mafia bermain karena prinsip dasar Pertalite tidak transparan.
Menurut Faisal, BBM dengan nama pertalite itu bertentangan dengan rekomendasi tim kepada Pertamina. Secara prinsip, tim merekomendasikan untuk menciptakan transparansi dalam proses penentuan harga yang dapat diukur dengan benchmark. Sedangkan pertalite, seperti Premium, adalah produk jadi-jadian karena tidak ada yang menjual di pasar.
"Sehingga referensi harganya tidak ada dan dibuatlah referensi harga yang aneh-aneh. Jadi bertentangan dengan rekomendasi," kata Faisal saat dihubungi Tempo, Kamis, 24 Juli 2015.
Faisal memperkirakan harga pertalite berasal dari rumus harga Premium ditambah Pertamax dibagi dua dan ditambah 'X'. Unsur X inilah, kata Faisal, adalah keuntungan yang akan diambil Pertamina untuk menutup kerugian korporasi. Dia menaksir kerugian Pertamina mencapai puluhan miliar karena beberapa hal yang di antaranya adalah inefesiensi kilang milik perseroan.
Tim, menurut Faisal, mendorong pemerintah menghapus Premium Ron 88 dengan menghadirkan Pertamax Ron 92 minimum yang harganya mirip dengan Premium. Alasannya dengan menggunakan Ron 92, rumus pembentuk harganya lebih transparan karena ada di pasar, yakni MOPS 92 plus alpha. "Itu selisih antara dua rumus (Premium dan Pertamax itu sekitar Rp 200 sampai Rp 400," katanya.
Faisal menyebutkan harga Ron 95 di Malaysia mencapai Rp 6.950 per liter, lebih murah dari harga Ron 88 di Indonesia yang mencapai Rp 7.400 per liter. Dia yakin dengan rumus yang lebih transparan, harga Pertamax akan mendekati harga Premium. "Itu menunjukkan sekali lagi, tim mendorong Pertamax dan menghapus Premiun yang tidak memberatkan masyarakat karena praktis harga Pertamax seperti harga Premium," kata Faisal Basri.
Sebelumnya, Ketua Komisi Energi Kardaya Warnika meminta Pertamina mengkaji ulang rencana peluncuran pertalite. Kalau pun pertalite tetap dipasarkan, jangan sampai kuota atau volume Premium berkurang. Penjualan pertalite di setiap SPBU juga tidak boleh memakai dispenser dan nozzle Premium, sehingga jangan sampai akses masyarakat terhadap Premium berkurang.
DPR, Kardaya menegaskan, menolak dengan keras jika keberadaan pertalite mengganggu ketersediaan Premium karena Premium ini yang paling murah dan paling banyak dipakai masyarakat. Jika ada gangguan terhadap Premium, dia khawatir akan terjadi gejolak pada masyarakat. "Kami meminta kajian dampak pertalite terhadap masyarakat dan lingkungan diselesaikan dan dilaporkan kepada kami sebelum diluncurkan," kata Kardaya Rabu, 22 April 2015.
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto berkali-kali membantah bahwa pertalite akan menggantikan Premium. "Tidak benar, Premium tetap ada," kata Dwi Rabu, 22 April 2015. Sedangkan masukan-masukan dari para legislator, Dwi Soetjipto akan mempertimbangkan kembali rencana peluncuran pada awal Mei nanti.
Pada Mei nanti, Pertamina memang akan memperkenalkan BBM baru yang dilabeli pertalite. Bahan bakar dengan nilai oktan 90 ini dirancang untuk kendaraan bermotor produksi terbaru.
Menurut Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang, pertalite cocok buat mesin yang kompresinya di atas 9, seperti Daihatsu Xenia, Toyota Avanza, Honda Mobilio, dan sejumlah mobil murah ramah lingkungan (LCGC) lainnya. pertalite rencananya dijual dengan harga Rp 8.000-8.300 per liter. Lebih mahal dibandingkan Premium, tapi lebih murah dari Pertamax.
Bambang memastikan Pertamina akan meluncurkan pertalite jika memang semuanya telah siap. Untuk produksi Pertamina menggunakan stok minyak RON 92 yang biasa digunakan untuk Pertamax, sehingga memang belum ada penambahan impor minyak untuk produksi Pertalite. Untuk tahap awal, karena pertalite tidak dijual serentak di seluruh kota, dia menyatakan volume produksinya pun tidak akan terlalu besar. "Kecuali kalau nanti konsumsinya naik."
Bambang menambahkan peluncuran pada Mei itu hanyalah target awal. "Kami belum selesai melakukan kajian, terkait volumenya berapa, dan bakal seberapa besarnya berdampak kepada Premium belum kami ketahui," ujarnya. Pengurangan volume konsumsi Premium akan terjadi secara alamiah jika konsumen nantinya beralih dari Premium ke Pertalite.
ALI HIDAYAT | PRAGA UTAMA