TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku industri minyak dan gas (migas) meminta pemerintah segera menunjuk satu lembaga yang bertugas mengurus segala macam perizinan di sektor tersebut guna memotong mata rantai birokrasi yang berbelit.
Hal itu, antara lain, disampaikan Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong, sebagaimana diterangkan dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, 25 April 2015.
Marjolijn menjadi salah satu pembicara dalam focus group discussion (FGD) bertajuk "One Door One Stop Permit Policy for Indonesian's Oil and Gas Industry" di Hotel Darmawangsa, Jakarta, Kamis, 23 April 2015.
Dia menuturkan perizinan yang rumit dan berbelit telah berdampak tidak baik pada investasi migas di Indonesia, sehingga ke depan Marjolijn menyarankan agar Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang seharusnya bertugas mencarikan semua perizinan investasi migas.
"Jadi kami bisa fokus bagaimana cepat teknisnya, cepat memproduksinya, dan lebih fokus meningkatkan produksi. Jadi jangan sibuk dengan izin-izin," ujar Marjolijn dalam diskusi tersebut yang juga menghadirkan sejumlah narasumber lain, termasuk Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Azhar Lubis, Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana, dan Kepala Subdirektorat Pengawasan Eksploitasi Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Patuan Alfon Simanjuntak.
Jumlah izin di sektor hulu sejak praeksplorasi hingga pascaeksploitasi mencapai 341 jenis izin, melewati 17 instansi pemberi izin, dan ada lebih dari 6.000 dokumen.
Teorinya membutuhkan waktu 8-10 tahun untuk komersialisasi cadangan migas, tapi realitasnya ada yang mencapai 17 tahun.
Namun Marjolijn mengakui, berdasarkan pengalamannya, diperlukan waktu 10 -15 tahun bagi investor untuk benar-benar bisa beroperasi di sektor hulu migas.
Diskusi tersebut merupakan rangkaian awal menyambut IPA Convex 2015 yang akan dilaksanakan di Jakarta Convention Center pada 20-22 Mei 2015 dengan mengambil tema "Working Together to Accelerate Solutions in Facing Indonesia’s Energy Crisis".
ANTARA