TEMPO.CO, Bandung - Gempa berkekuatan 7,8 skala Richter yang mengguncang Nepal pada Sabtu, 25 April 2015, waktu setempat mengakibatkan sekitar 1.800 orang meninggal dunia. Pakar gempa dari ITB, Irwan Meilano, mengatakan banyak faktor yang menyebabkan kematian dalam jumlah besar dan kerusakan parah dari gempa darat yang berkedalaman 15 kilometer tersebut.
Salah satunya sedimentasi atau endapan yang menjadi tanah hunian penduduk Nepal yang menyebabkan amplifikasi atau penguatan gempa.
Irwan mengatakan, tanah ibu kota Nepal, yakni Kathmandu, merupakan hasil endapan setebal 600 meter. Endapan tersebut bukan berasal dari material gunung api seperti abu vulkanis. “Misalnya dari longsoran tebing, sebab wilayah itu dulunya merupakan danau,” ujarnya kepada Tempo, Minggu, 26 April 2015.
Tanah hasil endapan seperti itu, kata Irwan, sangat berbahaya ketika terjadi gempa. Sebab, kekuatan lindu menjadi teramplifikasi atau semakin dikuatkan getarannya. Berdasarkan hasil pengukuran intensitas gempa dari USGS, kekuatannya berskala IX. “Artinya, itu sangat besar, dan angkanya sudah termasuk amplifikasi dari sumber gempa,” tuturnya.
Saat terjadi gempa, kondisi geologi seperti itu diperburuk dengan kepadatan penduduk, infrastruktur bangunan yang tidak tahan gempa, serta magnitudo gempa yang besar dan berasal dari kedalaman dangkal. Walau para ahli gempa sudah memprediksi potensi terulangnya gempa besar pada 1934 dan 1988, gempa akibat tumbukan lempeng benua India dan Eurasia tersebut masih sulit terdeteksi.
“Masalahnya, tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Dalam waktu dekat, langsung terjadi,” ujar Irwan.
ANWAR SISWADI