TEMPO.CO , Jakarta:National Society for the Prevention of Cruelty to Child, organisasi sosial untuk perlindungan anak dan remaja di Inggris mendapati peningkatan jumlah pelaku sexting hingga 28 persen dari total anak dan remaja yang memiliki ponsel dengan koneksi internet. Para pelaku, menurut penelitian mereka, menganggap sexting sebagai hal yang lumrah dalam berpacaran.
University of Texas Medical Branch di Galveston, Texas, melansir penelitian selama enam tahun berturut-turut terhadap seribu anak dan remaja. Hasilnya, pada 2012, satu dari empat remaja pernah melakukan sexting.
“Sexting menjadi satu pintu awal bagi remaja untuk ke tahap selanjutnya, hubungan seksual,” ujar Hye Jeong Choi, peneliti Sexting di University of Texas Medical Branch, seperti dikutip situs berita The Washington Post, bulan lalu.
Bob Lotter, pencipta piranti lunak pencegah konten porno di telepon seluler, merangkum beberapa modus transfer gambar dalam kegiatan sexting.
“Umumnya diawali permintaan satu pihak, biasanya laki-laki, dengan cara mengirimkan gambar telanjang mereka terlebih dulu,” katanya seperti yang dikutip dari situs berita Inggris, Telegraph.
Banyak perempuan, bahkan yang seumur hidup belum pernah selfie telanjang, terpancing.
“Satu gambar yang terkirim akan menjadi pintu untuk permintaan foto-foto selanjutnya,” kata Lotter. Celakanya, NSPCC mendapati kecenderungan peningkatan kasus bunuh diri remaja perempuan akibat depresi usai foto vulgar mereka tersebar.
"Tapi orang tua tidak perlu panik," kata Professor Jeff Temple, psikolog dari University of Texas Medical Branch. Marah, lalu mencabut akses ponsel dan internet bukan solusi. Jika mendapati anaknya terlibat sexting, dia melanjutkan, orang tua justru mendapat momen untuk menjelaskan cara berpacaran yang sehat dan mencegah hubungan seksual pranikah.
CHETA NILAWATY | HP