TEMPO.CO, Jakarta - Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan pemerintah harus melaksanakan proses hukuman mati gelombang kedua. Sebab, hukuman mati yang akan diterapkan kepada sepuluh orang pada 28 April 2015 itu sudah kuat dasar hukumnya.
Menurut Reza, dasar hukumnya kuat karena setiap terpidana mati sudah melewati tiga kali proses pengadilan. “Ada sembilan hakim yang memutuskan itu, dan kemungkinan keputusan sangat kecil, sekitar 0,027-4,1 persen,” katanya lewat BlackBerry Messenger, 26 April 2015.
Reza mencontohkan, persidangan di Amerika Serikat yang menggunakan juri akan memutuskan hukuman seumur hidup jika juri itu ragu. Dan sembilan hakim itu mempunyai keyakinan yang kuat dan mantap saat menjatuhkan hukuman mati terhadap sepuluh orang tersebur. “Abaikan drama mengiba berjudul ironi sebagai korban,” ucapnya.
Kesepuluh nama yang akan dieksekusi mati adalah Andrew Chan (Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Martin Anderson (Nigeria), Raheem Agbaje Salami (Spanyol), Rodrigo Gularte (Brasil), Sylvester Obieke Nwolise (Nigeria), Sergei Areski Atlaoui (Prancis), Okwudili Oyatanzel (Prancis), Zainal Abidin (Indonesia), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana menuturkan jumlah terpidana yang akan dihukum mati pada eksekusi gelombang kedua berpotensi dikurangi dari jumlah yang direncanakan. "Kemungkinan terbesar, kami akan mengeksekusi sembilan orang, bukan sepuluh," ujar Tony ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 25 April 2015.
Tony mengatakan jumlah terpidana yang akan dieksekusi terancam dikurangi karena terpidana mati asal Perancis, Serge Areski Atlaoui, mengajukan upaya hukum terakhir. Upaya hukum tersebut adalah gugatan perlawanan di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Serge, yang merupakan terpidana kasus pabrik ekstasi di Cikande, mengajukan upaya perlawanan itu pada Kamis sore, 23 April 2015. Hari itu, kata Tony, adalah batas terakhir terpidana mati mengajukan upaya hukum baru.
HUSSEIN ABRI YUSUF | ISTMAN M.P.