TEMPO.CO, Jakarta -Presiden Joko Widodo mengatakan pernyataan Australia soal hakim Bali Nine terlambat. Menurut Jokowi, hal-hal seperti itu harusnya disampaikan sekian tahun lalu."Kenapa tidak disampaikan dulu, saat peristiwa itu terjadi? Misalnya loh yah, misalnya betul gak," kata Jokowi di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Senin, 27 April 2015.
Jokowi menegaskan pernyataan Australia tersebut tak akan mempengaruhi pelaksanaan eksekusi.
Pemerintah Australia kembali mengungkit dugaan suap oleh hakim kasus Bali Nine pada 2006.Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop meminta pemerintah untuk menyelesaikan lebih dulu pengusutan kasus suap tersebut sebelum melaksanakan eksekusi. Menurut dia, pengusutan dugaan korupsi menjadi hak kepastian hukum bagi duo Bali Nine.
Kementerian Luar Negeri Indonesia justru meminta Australia menunjukkan seluruh bukti dugaan suap tersebut. Selain itu, Kementerian mempertanyakan niat dan tujuan Australia baru mengangkat kasus tersebut setelah sepuluh tahun berlalu.
Juru bicara Kementerian, Armanatha Nasir, menyatakan duo Bali Nine telah mendapatkan semua kesempatan dan hak hukum. Seluruh proses yang ditempuh warga negara Australia itu tak ada yang menggugurkan keputusan eksekusi mati.
Isu ini kembali mencuat setelah permintaan Bishop dan Perdana Menteri Australia Tony Abbott tak mendapat tanggapan positif dari Presiden Joko Widodo. Sydney Morning Herald melaporkan dugaan suap tersebut berdasarkan kesaksian kuasa hukum Bali Nine pada 2006, Muhammad Rifan.
Rifan mengungkapkan, dalam proses persidangan kasus narkoba di Bali, dia bersepakat dengan majelis hakim soal uang sebesar US$ 130 ribu atau sekitar Rp 1,7 miliar. Suap ini adalah jaminan majelis akan menjatuhkan vonis kepada anggota Bali Nine di bawah 20 tahun. Namun kesepakatan kemudian batal karena majelis hakim mengklaim mendapat desakan dari pusat untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Bali Nine. Uang senilai Rp 1 miliar tersebut dianggap tak cukup.
TIKA PRIMANDARI I FRANSISCO ROSARIANS