TEMPO.CO, Surabaya -Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong bank dan pelaku industri jasa keuangan lain agar menyediakan fasilitas khusus bagi kaum difabel. “Prinsip kelayakan kredit yang harusnya menjadi perhatian, seperti cash flow yang baik. Bukan dari fisik,” kata Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan Kusumaningtuti S. Soetiono kepada pers di Surabaya, Senin, 27 April 2015.
Menurut dia, difabel minim akses kredit perbankan. Dari 118 bank dan 200 perusahaan asuransi yang terdaftar, sedikit sekali yang memberi fasilitas bagi penyandang disabilitas. “Dan lokasinya sporadis.”
Kusumaningtuti mengapresiasi beberapa bank yang telah berinisiatif menggunakan fasilitas suara pada mesin anjungan tunai mandiri mereka. Sebab dengan begitu penyandang tunanetra dapat menggunakan ATM secara mandiri. OJK akan terus melakukan sosialisasi kewajiban perbankan agar para difabel terlayani. “Kami mulai dengan mengedukasi dan menambah volunteer.”
Peraturan OJK di antaranya mengatur tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Peraturan itu mewajibkan seluruh pelaku usaha jasa keuangan menyediakan layanan khusus kepada konsumen berkebutuhan khusus. Yang dimaksud dengan konsumen berkebutuhan khusus ialah penderita tunarungu, tunanetra, dan nasabah berusia 60 tahun atau lebih. Layanan khusus yang wajib tersedia di antaranya penyediaan formulir khusus yang menggunakan huruf Braille. Aturan ini berlaku sejak 6 Agustus 2014.
Sementara itu, Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya Malang mencatat 94 persen difabel di Malang, Mojokerto, dan Surabaya tidak pernah mencatat keuangan mereka. Penelitian yang dilakukan pada 2014 itu menyebutkan hanya 6 persen difabel di daerah tersebut yang memiliki catatan keuangan yang baik.
Sebanyak 51,02 persen dari mereka tidak memiliki tabungan dan sisanya, 48,98, persen memiliki tabungan. “Ini menunjukkan bahwa mereka belum memiliki perencanaan dan pengaturan keuangan dengan baik. Ini tentu sangat memprihatinkan,” kata Ketua PSLD sekaligus pengajar di Unibraw, Slamet Tohari.
Sebanyak 65 persen kaum difabel kesulitan mengakses jasa keuangan. Penyebab tertinggi, sebesar 27,03 persen, ialah ketidakterjangkauan infrastruktur. Karena alasan itu, mereka enggan melakukan transaksi di lembaga jasa keuangan. “Sisanya karena persyaratan yang menyulitkan, disabilitas yang dialami, dan sarana-prasarana yang tak mendukung.”
ARTIKA RACHMI FARMITA