TEMPO.CO, Nepal - Gempa berkekuatan magnitudo 7,8 Mw yang mengguncang Nepal pada Sabtu, 25 April 2015, menyebabkan kegiatan perekonomian lumpuh total. Akibatnya, negara yang terkurung di daratan Asia Selatan ini terancam krisis ekonomi berkepanjangan.
Berdasarkan informasi yang dilansir Australia Financial Review, kondisi ekonomi di Nepal memang lesu, bahkan sebelum gempa terjadi. Karena itu, Nepal membutuhkan bantuan dari negara-negara lain agar tidak membuatnya semakin terpuruk.
"Kathmandu rusak berat akibat gempa. Ini membuat perekonomian pincang," kata mantan Menteri Keuangan Madhukar S.J.B. Rana, seperti dilansir dari laman Australia Financial Review, Senin, 27 April 2015.
Dia mengatakan dampak gempa ini tak hanya kerusakan parah terhadap bangunan-bangunan dan sumber daya, tapi kemampuan warga Nepal untuk cepat bangkit juga mengkhawatirkan. "Kami tak punya banyak tenaga. Kami jelas butuh bantuan," ujarnya.
Nepal masuk daftar negara-negara miskin di dunia dengan pendapatan per kapita setiap tahun sekitar US$ 42,1 miliar. Nilai ini lebih kecil dari pendapatan 50 negara bagian Amerika Serikat.
Berdasarkan analisis Asian Development Bank (ADB), negara ini lemah dalam peningkatan infrastruktur. Hal ini yang membuat pendapatannya tak banyak naik setiap tahun.
Lembaga survei kependudukan asal Amerika Serikat memprediksi ekonomi Nepal mengalami penurunan 9-50 persen. Kemungkinan penurunan ekonomi mencapai level 35 persen. Namun, menurut salah satu staf ADB, Hun Kim, pihaknya belum dapat memprediksi dampak gempa terhadap pendapatan per kapita Nepal.
Hingga kini, jumlah korban meninggal akibat gempa yang berpusat di antara Kota Pokhara dan Khatmandu itu terus bertambah. Sedikitnya ada 3.000 jiwa melayang karena tertimbun reruntuhan bangunan. Sudah banyak lembaga internasional mengulurkan bantuan, baik tenaga maupun dana, untuk meminimalkan dampak bencana ini.
YOLANDA RYAN ARMINDYA| AUSTRALIA FINANCIAL REVIEW