TEMPO.CO , Jakarta: Indonesia Corruption Watch memandang pembentukan Komite Etik permanen Komisi Pemberantasan Korupsi tak perlu. Komite permanen ini berpotensi hanya akan memangkas kewenangan KPK.
"Segala keputusan dan langkah yang mau diambil KPK ini seolah terikat pada lembaga ini nantinya," kata Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho saat dihubungi, Senin, 27 April 2015.
Menurut Emerson, KPK telah memiliki pengawas internal sendiri untuk para penyidik dan pegawai lainnya. Sedangkan untuk komisioner, ada komite etik ad hoc yang dibentuk bila ada laporan pelanggaran etik.
"Itu sudah cukup, tak perlu dibuat permanen. Kalau tak ada laporan, nanti ngga kerja dong si komite ini," kata Emerson.
Lagipula, kata Emerson, kenapa hanya KPK yang diobrak-abrik kewenangannya dengan membentuk Komite Etik permanen. "Kenapa tidak kejaksaan dan kepolisian juga dibentuk permanen. Padahal fungsi pengawasan harus sama rat untuk lembaga penegak hukum."
Sebelumnya, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat meminta pembentukan Komite Etik tetap. Rekomendasi ini dikeluarkan saat paripurna pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang KPK menjadi Undang-undang.
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Ashidique mendukung pembentukan komite etik tetap. Namun, wewenangnya nanti jangan disalahartikan seperti pengawas.
"Komite etik itu hanya berwenang bekerja bila ada laporan pelanggaran etik komisionernya," kata Jimly. "Bukan menyalahkan atau mengingatkan si komisioner kalau mau ambil keputusan."
Menurut Jimly, wacana DPR membuat komite etika harus dikawal betul. Jangan sampai kewenangan komite etik berganti menjadi komite pengawas.
INDRI MAULIDAR