TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) bukan satu-satunya yang menjadi pelaku illegal fishing. "Illegal fishing ini sindikat besar, lebih dari 20 perusahaan," kata Susi di rumahnya di Widya Candra V Nomor 26, Jakarta Selatan, Jakarta, Senin, 27 April 2015.
Susi mengatakan tidak menutup kemungkinan ada perusahaan lain selain PT PBR yang bakal dicabut izin usahanya. "Nanti kita lihat hasil analisis dan evaluasi dari Tim Satgas," ujar Susi.
Saat ini Tim Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing masih melakukan analisis dan evaluasi terhadap bekas kapal-kapal asing. Dari hasil evaluasi tersebut, Tim Satgas bakal merekomendasikan mana saja perusahaan yang layak operasi atau tidak.
Susi mencontohkan dalam kasus MV Hai Fa, kapal tersebut terindikasi sebagai pelaku. "ABK-nya asing dan SLO (Surat Laik Operasi) juga tidak ada. Hukuman juga hanya baru menyentuh nakhoda," kata Susi. Menurut dia, yang dijerat hukum dalam pencurian ikan seharusnya tak hanya berhenti pada nakhoda kapal, tetapi juga pada perusahaannya.
Kapal MV Hai Fa adalah milik PT Anthartica Segara Lines. Perusahaan tersebut berafiliasi dengan PT Dwikarya Reksa Abadi di Wanam. Kapal-kapal milik PT Dwikarya, kata Susi, juga banyak yang melanggar aturan.
Hasil temuan Tim Satgas beberapa waktu yang lalu menunjukkan kapal milik Dwikarya menyelundupkan hewan-hewan yang dilindungi, seperti burung kakak tua, ke Cina. "Itu semua secara ilegal," ujar Susi.
Susi mengatakan keputusan dicabut atau tidaknya izin PT Dwikarya Reksa Abadi ada pada hasil analisis dan evaluasi (anev) nanti. "Sekarang kan anev masih berlangsung. Masih menunggu hasilnya," ujarnya.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mendukung langkah Susi untuk mencabut izin perusahaan yang terindikasi illegal fishing. "Izinnya harus dicabut. Pemiliknya juga di-black list selama lima tahun agar mereka tidak punya ruang untuk beroperasi," kata Hanif.
Menurut Hanif, hal tersebut perlu dilakukan agar masalah lain, seperti perdagangan manusia, tidak terjadi lagi. Sebab, kata Hanif, berkaca dari kasus PT PBR, banyak anak buah kapal asal Myanmar ternyata berasal dari perdagangan manusia.
DEVY ERNIS