TEMPO.CO, Kediri–Rektor Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri, Jawa Timur, Samari, meminta mahasiswanya tetap tenang setelah perguruan tinggi tersebut dinokaktifkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).
Samari mengaku kecewa karena penonaktifan itu tanpa pemberitahuan sebelumnya. “Seharusnya ada pemberitahuan dulu dua kali, baru non-aktif,” katanya di kampus Universitas PGRI Kediri Jalan K.H. Achmad Dahlan Kediri, Rabu, 29 April 2015.
Menurutnya, alasan Dikti menonaktifkan lembaganya adalah amburadulnya sistem pendataan online oleh pegawai Dikti. Akibatnya terjadi kekeliruan jumlah mahasiswa dan dosen pada database Dikti yang tidak sesuai dengan data di kampus UNP.
Menurut Samari, jumlah mahasiswanya saat ini 16.700 orang dengan 284 dosen tetap. Ini berarti rasio kebutuhan dosen dan mahasiswa adalah 1 : 60, dan dianggap masih relevan dengan ketentuan Dikti sebesar 1 : 40.
Samari mengakui keterbatasan jumlah dosen ini akibat kondisi perguruan tinggi swasta yang dipaksa mandiri tanpa subsidi pemerintah. Kondisi ini sangat berbeda dengan perguruan tinggi negeri yang tak perlu pusing memikirkan gaji dosen karena fasilitas pembiayaan dari negara.
Dalam kondisi seperti ini, pengawasan dari Dikti dan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) tehadap perguruan tinggi swasta justru sangat ketat. Sehingga setiap terjadi kesalahan sedikit saja Dikti dan Kopertis langsung menjatuhkan sanksi. “Coba saja hitung rasio jumlah dosen dan mahasiswa di kampus negeri yang sebenarnya lebih parah,” katanya.
Samari juga menganggap pemerintah masih menganaktirikan perguruan tinggi swasta untuk berkembang sehingga kerap dibenturkan dengan aturan-aturan yang mengikat. Sedangkan perguruan tinggi negeri justru diberi kelonggaran dengan berbagai tunjangan.
Hal inilah yang memaksa perguruan tinggi swasta mengejar quota mahasiswa baru sebanyak-banyaknya demi menjaga operasional kampus. Sementara rekruitmen dosen justru dibatasi karena tak mampu menggaji lebih.
Keterangan serupa disampaikan Wakil Rektor II UNP Mohammad Anas yang merasa kesulitan merekrut dosen baru untuk jurusan tertentu. Dia mencontohkan seorang lulusan S-2 teknik akan malas melamar menjadi dosen di perguruan tinggi swasta dan lebih memilih perusahaan profesional. Hal ini pula yang membuat perekrutan dosen di kampusnya tersendat. “Kita sulit mencari dosen yang sesuai standar kebutuhan kampus,” katanya.
Untuk membuka kembali status non-aktif ini, Samari menyatakan akan mengurangi quota penerimaan mahasiswa baru agar tak melebihi jumlah dosen. Sebagai konsekuensinya, biaya kuliah juga akan dinaikkan hingga 50 persen untuk menutup kebutuhan operasional kampus.
HARI TRI WASONO