TEMPO.CO, Jakarta - Bencana gempa berkekuatan 7,9 Skala Richter yang menerjang Nepal pada Sabtu, 25 April 2015 pukul 11.56 seperti mimpi buruk. Semua orang kaget, panik, dan ketakutan menyaksikan keganasan gempa di siang bolong. Megharaj Adhikari meneteskan air mata menyaksikan negerinya luluh lantak hanya dalam rentang waktu beberapa jam saja.
Tempo yang menghubungi Megharaj via Facebook menerima penjelasan tentang apa yang terjadi di negaranya pada Sabtu malam itu. Megharaj mengirimkan surat berjudul "Gempa Mematikan di Kathmandu dan Konfigurasinya" ke Tempo. Dalam surat itu, dia menuturkan pengalamannya menghadapi bencana dahsyat yang merenggut ribuan orang itu. Berikut ini bagian ketiga surat Megharaj, pengajar di Universitas Thribhuvan, Kathmandu, Nepal, itu.
Gempa mematikan telah meluluhlantakkan sejarah rakyat Nepal berabad-abad lamanya. Dari tujuh situs warisan itu, empat rusak parah. Tiga di antaranya adalah Lapangan Durbar yang dibangun di masa periode Malla sebelum Negara Nepal yang modern dibentuk. Bangunan lain yang bersebelahan dengan bangunan di masa Malla juga berubah menjadi gundukan tanah. Bashantapur, Bhaktapur and Patan Durbar Square--tempat terfavorit bagi para turis saat berkunjung ke Nepal--ambruk.
Situs-situs ini berada di pusat kota di Lembah Kathmandu di masa periode Malla pada abad ke-18. Situs warisan lain adalah Swyambhunath, kuil Budha yang didirikan pada abad 5, juga hancur. Kerusakan bangunan kuil di kota yang paling terawat di Nepal, Bhaktapur, mencapai 80 persen. Muncul keraguan dari beberapa anggota masyarakat tentang tidak ada alasan jika bangunan ini dapat direstorasi sesuai aristektur bangunan.
Meski kerugian tak dapat dihitung, keahlian dan tenaga kerja untuk membangun kembali gedung-gedung itu masih ada di sini. Kebanyakan mereka orang-orang muda, laki-laki dan perempuan, karena itu sebuah tradisi, tak diragukan, akan berlangsung lama. Dengan demikian, turis akan merasa memiliki Nepal yang sama segera. Sebagian besar turis memilih Nepal sebagai tujuan wisata. Sekarang mereka tidak perlu khawatir. Negara ini aman bagi wisatawan untuk 100 tahun ke depan sejak sejarah menyebutkan kecenderungan gempa datang dalam rentang waktu hampir 90-100 tahun. Ini sebuah kesaksian. Gempa mematikan terjadi di Nepal pada 1934.
Di halaman Facebook dan Twiter penuh informasi seperti nomor telepon, bantuan materi, dan foto para korban. Beberapa orang bahkan memuat rumor tak perlu mengenai gempa lebih dashyat akan kembali terjadi. Banyak relawan kemanusian dari anak-anak muda, pria, dan wanita telah memuat nomor telepon mereka untuk meminta bantuan donasi darah dan bahkan mereka membentuk kelompok-kelompok di lokasi yang terkena dampak. Namun para relawan mengeluhkan masalah kehadiran sejumlah pengunjung tak jelas dan pencuri yang berkeliaran.
Banyak warga Nepal yang tinggal di luar negeri kecewa karena tidak ada di negaranya saat krisis terjadi. Ruang virtual seperti Facebook dan Twitter bekerja layaknya ruang sosial dan berkontribusi membantu korban serta menciptakan kesadaran di antara masyarakat. Situs sosial bekerja seperti “komunitas imajinasi” yang berfungsi serupa dengan masyarakat sesungguhnya. Komunitas ini bekerja sebagai forum diskusi isu-isu yang berhubungan dengan gempa yang mematikan ini.
MARIA RITA