TEMPO.CO, Bandung - Kepala Kantor Wilayah Bank Indonesia Jawa Barat Rosmaya Hadi mengatakan kontribusi nilai transaksi uang kertas (UKA) di Kota Bandung rata-rata per bulan dalam jangka satu tahun terakhir sebesar Rp 765 miliar atau terbesar keempat se-Indonesia setelah Jakarta, Denpasar, dan Batam. Hal ini mengharuskan BI Jawa Barat lebih ketat dalam memonitor bisnis-bisnis di bidang penukaran mata uang asing.
"Ini baik bagi perekonomian kita. Tapi, di sisi lain, ini tidak sesuai dengan peraturan dari BI, karena banyak yang tidak memiliki izin," ujar Rosmaya saat dihubungi Tempo, Kamis, 30 April 2015.
Menurut Rosmaya, bisnis kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) sangat rawan disalahgunakan, di antaranya untuk pencucian uang, perdagangan narkotik, dan pembiayaan teroris. "Makanya upaya pembinaan kepada KUPVA ini kita dorong, dan kita perluas layanannya," ucapnya.
Saat ini, tutur Rosmaya, untuk wilayah Bandung, jumlah perusahaan KUPVA yang memiliki izin berjumlah 14 perusahaan. Namun jumlah itu, menurut Rosmaya, dirasa belum cukup. Pasalnya, potensi Kota Bandung itu cukup besar, mengingat banyaknya wisatawan asing yang berkunjung ke Bandung.
"Harus dipetakan dulu, dan ini sedang dipetakan oleh pusat, yang sebetulnya itu sentral-sentral kedatangan wisata. Contohnya bandara. Minimalnya di bandara sendiri itu ada dua, terus di sekitarnya ada empat atau lebih, di bawah sepuluh," ujarnya.
Meski demikian, ucap Rosmaya, BI selaku operator yang mengurus masalah tersebut tidak bisa memaksakan untuk menambah KUPVA. Maka BI saat ini sedang berusaha memaksimalkan sosialisasi kepada masyarakat mengenai valuta asing.
"Upaya pembinaan kepada KUPVA ini kita dorong, dan kita perluas layanannya. Begitu pun masalah perizinannya itu sangat diperlukan untuk keamanan konsumen," tuturnya.
AMINUDIN