TEMPO.CO, Jakarta - Erry Riyana Hardjapamekas, anggota Tim Independen yang dibentuk Presiden Joko Widodo untuk melerai konflik KPK versus Polri, menilai penangkapan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, merupakan bentuk arogansi petinggi Polri yang memanfaatkan kewenangan sebagai aparat hukum.
"Ini arogansi kewenangan bercampur dengan kepentingan, apalagi dendam," kata Erry kepada Tempo melalui pesan pendek, Jumat, 1 Mei 2015.
Menurut Erry, penangkapan Novel sama persis dengan penangkapan pemimpin KPK nonaktif, Bambang Widjojanto. Bareskrim Polri menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Novel yang dijadikan tersangka atas dugaan tindak pidana penganiayaan yang terjadi sebelas tahun silam.
"Kami tidak paham apa yang ingin dicapai oleh oknum petinggi itu," ujar Erry, yang pernah menjabat sebagai Komisioner KPK periode pertama 2003-2007.
Erry mengimbau pimpinan dan karyawan KPK agar berhati-hati dalam menanggulangi konflik dengan Polri setelah penangkapan Novel. "Harus bersikap cerdas dan tegas," tuturnya. Erry yakin dukungan masyarakat sipil akan berada di belakang KPK. "Mereka akan membeli Novel dengan cara masing-masing."
Menyikapi penangkapan Novel, karyawan KPK berkumpul di gedung KPK di Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat pagi ini. Erry termasuk yang ikut berkumpul di gedung KPK. Pertemuan di KPK ini untuk merumuskan langkah yang akan diambil. "Kami akan ke KPK mengumpulkan informasi sebelum menyepakati langkah ke depan," ucapnya.
Novel Baswedan ditangkap polisi di rumahnya sekitar pukul 00.00. Berdasarkan surat perintah penangkapan yang diterbitkan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Novel ditangkap karena dua kali mangkir dari panggilan.
Polisi memperkarakan Novel menggunakan kasus penembakan tersangka pencurian sarang burung walet pada 2004. Meskipun bukan Novel yang menembak, polisi menjerat Novel karena ketika itu ia menjabat Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Kota Bengkulu berpangkat inspektur satu.
Pada 2012, kasus tersebut digunakan polisi untuk menjerat Novel yang memimpin penyidikan korupsi Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Kini, polisi membuka lagi kasus tersebut setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Gara-gara penetapan tersangka itu, Budi batal dilantik menjadi Kepala Kepolisian.
Penangkapan ini dikecam banyak kalangan, termasuk pegiat antikorupsi. Selain dilakukan pada malam hari, polisi tidak memberikan kesempatan kepada penasihat hukum Novel untuk berkomunikasi dan mendampingi. "Pasal 69 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jelas menyatakan penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat penangkapan," kata Muji Kartika Rahayu, pengacara Novel.
AKBAR TRI KURNIAWAN