TEMPO.CO , Jakarta: Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Leo Nababan, mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib mengikutsertakan kepengurusan versi Agung Laksono dalam ajang pemilihan kepala daerah.
Menurut Leo, aturan KPU yang mensyaratkan islah bagi partai yang bersengketa tak lagi berlaku di Golkar. "Pada prinsipnya kami sudah islah," ujarnya ketika dihubungi, Sabtu, 2 Mei 2015.
Menurut Leo, peluang islah telah dijajaki kepengurusan Agung Laksono dengan mengikutsertakan sejumlah pendukung kubu Ketua Umum Aburizal Bakrie dalam susunan pengurus kubu Ketua Umum Agung Laksono. Langkah itu diambil sebagai bentuk kompromi sebagaimana diputuskan Mahkamah Partai. "Karena Mahkamah meminta kami jangan sampai ada The Winner Takes All," katanya.
Karena itu, kata Leo, Ketua Umum Agung Laksono telah memasukkan 87 orang pendukung Musyawarah Nasional Bali dalam kepengurusannya. Kader yang mereka akomodir terbatas pada mereka yang memiliki prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela seperti Mahyuddin, Airlangga Hartanto, Taufik Hidayat, dan Erwin Aksa.
"Kalau masih ada yang belum mau islah, itu urusan mereka bung," ujarnya.
Aturan KPU mensyaratkan islah bagi partai yang tengah bersengketa, Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, agar bisa ikut dalam ajang Pilkada 2015. Jika opsi itu belum tercapai, KPU akan mendasarkan sikap pada putusan peradilan berkekuatan hukum tetap. Namun jika itu belum tercapai, pengakuan legalitas partai untuk sementara waktu akan didasarkan pada putusan sela Pengadilan Tata Usaha Negara.
Leo mengaku heran dengan syarat KPU yang meminta putusan peradilan berkekuatan hukum tetap jika opsi islah belum tercapai. Sebab, kata dia, sengketa Golkar dianggap selesai setelah putusan Mahkamah. "Putusan Mahkamah bersifat final and banding. Kalau kita mau konsisten, maka tidak ada lagi Golkar di luar Agung Laksono dan Zainuddin Amali," katanya.
RIKY FERDIANTO