TEMPO.CO , Jakarta: Pria dengan tato khas suku Koita, Papua, pada wajahnya itu pamit ke dapur. Sekitar dua menit kemudian, ia kembali dengan menyodorkan mangkuk berisi bubur yang terbuat dari beras merah, talas, dan daun kemangi di atas meja.
Rahung Nasution, pria itu, lalu mempersilakan kami menyantap makanan tersebut. “Tadi saya bikin bubur. Ayo dimakan,” kata dia saat ditemui Tempo di rumahnya di Jakarta, Kamis, 30 April 2015.
Rahung, yang belakangan sering wara-wiri di layar televisi, memang terbiasa memasak sendiri. Dalam blognya, Kokigadungan.tumblr.com, ia menjelaskan berbagai masakan tradisional yang dibuatnya.
Selain menulis, Rahung membuat film dokumenter tentang perjalanan berbasis sejarah, budaya, serta makanan yang diunggahnya di situs YouTube. Foodieography, acara miliknya yang membahas masakan tradisional Nusantara, mulai tayang di Foodie Channel di First Media pada awal Mei ini.
Meski sering memasak, Rahung ogah dipanggil chef. Menurut dia, sebutan chef hanya layak disematkan kepada orang-orang yang bisa membuat kreasi menu makanan baru, bukan cuma membaca resep atau memasak makanan yang sudah menjadi tradisi. “Kalau dibilang chef, kan kita malu sama diri kita sendiri,” kata pria 39 tahun ini.
Ibarat sutradara atau komposer musik, Rahung melanjutkan, chef juga harus menjadi pemimpin di dapur. Selain menciptakan menu baru, chef harus bisa mengatur asistennya di dapur. “Dia jenderalnya dapur. Bisa jadi dia tak memasak, tapi semuanya sudah ada di kepalanya,” ujar pria yang memiliki tujuh tato pada badannya ini.
Dibanding chef, Rahung lebih senang disebut pencinta kuliner tradisional atau koki gadungan. Ia sangat menyukai beragam makanan asli daerah. “Dan, karena memang gadungan,” kata dia sambil tertawa.
Rahung sudah mengakrabi dunia masak-memasak sejak lama. Pria kelahiran Sayurmatinggi, Batang Angkola, Tapanuli Selatan, ini mulai berkenalan dengan dapur saat berusia sekitar 13 tahun. Belajar dari sang ibu, ia menjadi terbiasa menggunakan andaliman, semacam lada yang biasa digunakan untuk membuat masakan Batak.
Perkenalannya dengan makanan tersebut bukan atas dasar kecintaan. Rahung remaja terpaksa memasak karena orangtuanya bekerja dari pagi sampai petang di ladang. Sebagai anak pertama, ia harus menyediakan makanan untuk keluarga. “Karena saya anak paling besar, tertanggunglah beban itu.”
NUR ALFIYAH