TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan kader partai-partai yang sedang mengalami sengketa kepengurusan dilarang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah serentak pada Desember 2015.
Menurut dia, pelarangan itu bertujuan menghindari polemik yang berkepanjangan dan memberikan kepastian hukum.
"Persoalannya, pilkada serentak pada Desember. Seharusnya sekarang ini ada peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang bagaimana menyikapi konflik kepengurusan tersebut," kata Laoly dalam rapat koordinasi persiapan pilkada serentak di Balai Kartini, Senin, 4 Mei 2015. "Pengurus yang sah adalah yang mengambil keputusan berkekuatan hukum tetap."
Keputusan Kementerian Hukum dan HAM terhadap suatu kepengurusan partai, menurut dia, bisa dianulir oleh putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Namun, Laoly mengatakan, dalam soal sengketa kepengurusan, upaya memperoleh putusan tersebut hingga mencapai tahap final dan mengikat harus melalui proses yang panjang. "Sebab nanti ada banding dan kasasi," ujarnya. "Setelah melalui tahapan itu, baru putusan inkracht dan partai berhak ikut serta dalam pilkada."
Tanggapan Laoly dalam rapat koordinasi ini dikritik oleh beberapa kepala daerah dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang hadir. Salah satunya Ketua DPRD Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Karel Bangko.
Kepada Laoly, Karel mempertanyakan keputusan yang mengesahkan Golkar kubu Agung Laksono dan Partai Persatuan Pembangunan kubu Romahurmuziy. Dia juga mempertanyakan alasan Kementerian Hukum memaksa mengajukan permohonan banding setelah PPP kepengurusan Djan Faridz dimenangkan di pengadilan tata usaha negara. "Timbul pertanyaan, apakah keputusan Kementerian itu sudah tepat dan mengacu pada undang-undang?" ujar Karel.
Pertanyaan Karel disambut Bupati Banggai Sofhian Mile. Mendadak sontak para peserta rakornas bersorak ke arah Laoly. Mereka berteriak mengenai independensi Kementerian dalam soal pengesahan kubu partai yang bersengketa. Rakornas menjadi kisruh.
Namun Laoly dengan santai mengatakan keputusan pengesahan kepengurusan partai yang bersengketa memang tidak selalu bisa diterima dengan baik oleh kubu yang bersengketa. "Pihak yang kalah tetap akan mengklaim kemenangan," ujarnya. "Bahkan sengketa ini sama seperti perceraian suami-istri, tiap pihak mengklaim benar dan menyalahkan orang lain."
Yang pasti, menurut dia, pengesahan kepengurusan Golkar dan PPP sudah dilakukan pihaknya dengan mengacu pada Undang-Undang Partai Politik. "Dan pemerintah memang harus memutuskan. Jangan didiamkan jika ada sengketa partai seperti ini," ujarnya.
REZA ADITYA