Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sejarah Mataram Islam Terputus Jika Perempuan Jadi Sultan  

Editor

Elik Susanto

image-gnews
Sejumlah Prajurit Keraton Yogyakarta mengikuti prosesi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta di halaman Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, 29 Juli 2014. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Sejumlah Prajurit Keraton Yogyakarta mengikuti prosesi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta di halaman Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, 29 Juli 2014. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Iklan

TEMPO.CO, Yogyakarta - Langkah Sri Sultan Hamengku Buwono X menghilangkan sebutan "Khalifatullah" untuk Raja Keraton Yogyakarta (Mataram) akan mengubah prinsip kerajaan yang berdiri pada abad ke-16 itu. Kata tersebut sudah dicabut dalam Sabdaraja atau perintah raja yang dibacakan di Siti Hinggil Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 30 April 2015.

Gelar Khalifatullah tercantum dalam sebutan Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Gelar dalam bahasa Jawa ini menjelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono sekarang merupakan raja yang kesepuluh pewaris Kerajaan Mataram Islam. 

Menurut Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman Kiai Abdul Muhaimin, keputusan Sri Sultan itu membingungkan masyarakat Yogyakarta. Lebih jauh dari itu, Sabdaraja bakal memutus rantai sejarah Keraton Mataram Islam. Sebab gelar tersebut merupakan konsep kepemimpinan politik dan spiritual yang menjadi warisan sejarah panjang Kerajaan Mataram. 

Dalam gelar Khalifatullah, kata dia, terkandung prinsip kesatuan antara nilai budaya Jawa dan Islam yang dianut rakyat. "Kepemimpinan negara menyatu dengan kepemimpinan agama, makanya Sultan layak disebut Khalifatullah," kata Muhaimin, menanggapi kebijakan Sri Sultan.

Perubahan gelar itu telah diimplementasikan oleh Sultan dengan memberi sebutan kepada putri sulungnya, yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun. Anak pertama dari empat bersaudara yang semuanya perempuan itu dinobatkan sebagai putri mahkota sekaligus calon pengganti Sultan. Gelarnya lengkapnya menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.

Muhaimin, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, berpendapat, dengan penghapusan gelar Khalifatullah, nilai konsep kepemimpinan Keraton tereduksi. Selain memutus riwayat Keraton Mataram Islam, kata dia, keputusan itu menurunkan derajat kewibawaan kepemimpinan Raja Yogyakarta. “Sabdaraja ini justru akan mengkerdilkan kedudukan Raja di mata masyarakat,” kata Muhaimin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ihwal pandangan bahwa perubahan itu merupakan hak prerogratif dan cara Sri Sultan untuk mengangkat perempuan menjadi Raja Keraton Yogyakarta, Muhaimin tidak sepakat. Mengorbitkan sultan perempuan, kata Muhaimin, tidak sesuai dengan simbol pemimpin di Keraton Yogyakarta yang merujuk pada figur laki-laki.

Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta Kiai Asyhari Abta menganggap penggantian gelar ini merupakan wewenang Sultan Hamengku Buwono X. Meski begitu, menurut Asyhari, penghapusan gelar Khalifatullah memang tidak sejalan dengan konsep pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. "Identitas kerajaan Islam di Keraton Yogyakarta semakin luntur," kata Asyhari sembari menambahkan, “Itu hak Sultan, kita tidak berhak ikut mengurusi. Meski kurang enak mendengarnya." 

Guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra, menganggap munculnya Sabdaraja menjadi penanda penting perubahan Keraton Yogyakarta. Penghapusan gelar Khalifatullah melenyapkan separuh derajat keistimewaan Yogyakarta. "Masyarakat harus siap melihat Keraton sudah berubah," kata Heddy.

Sabdaraja, Heddy melanjutkan, berkaitan dengan isu suksesi di Keraton Yogyakarta yang selama ini diriuhkan dengan perdebatan keabsahan sultan perempuan. Tapi, menurut Heddy, masalah ini hanya kelanjutan dari pertentangan antara nilai sistem politik modern dan tradisional yang mengiringi Keraton Yogyakarta sejak era kemerdekaan Indonesia. "Dalam sistem politik modern, gubernur bisa laki-laki dan perempuan, kalau tradisional, sultan harus laki-laki," katanya.

ADDI MAWAHIBUN IDHOM

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Aeropolis Dekat Bandara YIA, Sultan Hamengku Buwono X Minta agar Tak Ada Kawasan Kumuh

23 jam lalu

Yogyakarta International Airport atau bandara YIA di Kulon Progo. Dok. Istimewa
Aeropolis Dekat Bandara YIA, Sultan Hamengku Buwono X Minta agar Tak Ada Kawasan Kumuh

Sultan Hamengku Buwono X meminta agar Kulon Progo memilah investor agar tidak menimbulkan masalah baru seperti kawasan kumuh.


Cerita dari Kampung Arab Kini

2 hari lalu

Cerita dari Kampung Arab Kini

Kampung Arab di Pekojan, Jakarta Pusat, makin redup. Warga keturunan Arab di sana pindah ke wilayah lain, terutama ke Condet, Jakarta Timur.


Begini Antusiasme Ribuan Warga Ikuti Open House Sultan Hamengku Buwono X

5 hari lalu

Suasana Open House Lebaran yang digelar Gubernur DIY Sri Sultan HB X di Komplek Kepatihan Yogyakarta, Selasa 16 April 2024. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Begini Antusiasme Ribuan Warga Ikuti Open House Sultan Hamengku Buwono X

Sekda DIY Beny Suharsono menyatakan open house Syawalan digelar Sultan HB X ini yang pertama kali diselenggarakan setelah 4 tahun absen gegara pandemi


Sultan Hamengku Buwono X Gelar Open House setelah Absen 4 Kali Lebaran, Ada Jamuan Tradisional

8 hari lalu

Raja Keraton Yogya Sri Sultan HB X saat melaunching Museum Kereta Keraton Yogyakarta yang kini berganti nama menjadi Kagungan Dalem Wahanarata Selasa (18/7). Dok.istimewa
Sultan Hamengku Buwono X Gelar Open House setelah Absen 4 Kali Lebaran, Ada Jamuan Tradisional

Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam X absen gelar open house selama empat tahun karena pandemi Covid-19.


Sultan Hamengku Buwono X Heran Kasus Antraks di Sleman dan Gunungkidul Muncul Kembali, Karena Tradisi Ini?

35 hari lalu

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X (kiri) dan  Wakil Gubernur DIY Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam X (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan usai pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY di Istana Negara, Jakarta, Senin 10 Oktober 2022. Presiden Joko Widodo melantik Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam X sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY masa jabatan 2022-2027 sesuai dengan Undang-Undang No. 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Sultan Hamengku Buwono X Heran Kasus Antraks di Sleman dan Gunungkidul Muncul Kembali, Karena Tradisi Ini?

Sultan Hamengku Buwono X mengaku heran karena kembali muncul kasus antraks di Sleman dan Gunungkidul Yogyakarta. Diduga karena ini.


60 Event Meriahkan Hari Jadi DI Yogyakarta sampai April, Ada Gelaran Wayang dan Bazar

40 hari lalu

Tarian Beksan Trunajaya membuka Pameran Abhimantrana, Upacara Adat Keraton Yogyakarta yang digelar 9 Maret hingga 25 Agustus 2024. (Dok. Istimewa)
60 Event Meriahkan Hari Jadi DI Yogyakarta sampai April, Ada Gelaran Wayang dan Bazar

Penetapan Hari Jadi DI Yogyakarta merujuk rangkaian histori berdirinya Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat


Menengok Sejarah 13 Maret sebagai Hari Jadi DIY dan Asal-usul Nama Yogyakarta

41 hari lalu

Ilustrasi Keraton Yogyakarta. Shutterstock
Menengok Sejarah 13 Maret sebagai Hari Jadi DIY dan Asal-usul Nama Yogyakarta

Penetapan 13 Maret sebagai hari jadi Yogyakarta tersebut awal mulanya dikaitkan dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755


Keraton Yogyakarta Gelar Pameran Abhimantrana, Ungkap Makna di Balik Upacara Adat

42 hari lalu

Tarian Beksan Trunajaya membuka Pameran Abhimantrana, Upacara Adat Keraton Yogyakarta yang digelar 9 Maret hingga 25 Agustus 2024. (Dok. Istimewa)
Keraton Yogyakarta Gelar Pameran Abhimantrana, Ungkap Makna di Balik Upacara Adat

Keraton Yogyakarta selama ini masih intens menggelar upacara adat untuk mempertahankan tradisi kebudayaan Jawa.


DI Yogyakarta Berulang Tahun ke-269, Tiga Lokasi Makam Pendiri Mataram Jadi Pusat Ziarah

46 hari lalu

Ziarah ke makam Kotagede Yogyakarta pada Kamis, 6 Maret 2024 digelar menjelang peringatan hari jadi ke-269 DIY (Dok. Istimewa)
DI Yogyakarta Berulang Tahun ke-269, Tiga Lokasi Makam Pendiri Mataram Jadi Pusat Ziarah

Tiga makam yang disambangi merupakan tempat disemayamkannya raja-raja Keraton Yogyakarta, para adipati Puro Pakualaman, serta leluhur Kerajaan Mataram


Ketua Komisi A DPRD DIY: Tidak Boleh Sweeping Rumah Makan Saat Ramadan

50 hari lalu

Perhelatan Sarkem Fest 2024 digelar di Yogyakarta. (Dok. Dinas Pariwisata Yogyakarta)
Ketua Komisi A DPRD DIY: Tidak Boleh Sweeping Rumah Makan Saat Ramadan

Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto menegaskan tidak boleh ada sweeping rumah makan saat Ramadan. Begini penjelasannya.