TEMPO.CO, Jakarta - Pakar sejarah Jawa dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, mengatakan sudah menjadi hak mutlak seorang raja atau Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk mengeluarkan sabdatama atau titah raja. Aturan-aturan dalam kerajaan itu raja sendiri yang membuat.
"Kalau ada yang bilang sabdatama merusak tatanan atau aturan kerajaan, kan aturan itu Sabda Raja sendiri," kata Margana saat dihubungi Tempo, Rabu, 6 Mei 2015.
Cuma, kata Margana, yang dipermasalahkan oleh kerabat keraton soal sabdatama Sri Sultan H.B. X adalah penggantian gelar sultan. Margana menjelaskan, kalaupun penggantian gelar itu untuk mengakomodasi rencana putri sulung Sri Sultan H.B. X naik takhta menggantikan ayahnya, sebaiknya dilakukan saat G.K.R. Pembayun--yang kini berganti gelar menjadi GKR Mangkubumi--naik takhta menggantikan ayahnya.
"Kan sekarang ini masih Sultan H.B. X rajanya," kata Margana.
Margana melanjutkan, polemik soal sabdatama Sri Sultan H.B. X bukan cuma soal penggantian gelar sultan. Melainkan soal suksesi takhta sepeninggal Sri Sultan H.B. X. Sebab, Sri Sultan H.B. X tak mempunyai anak laki-laki sebagai penerus takhtanya.
"Seperti di Surakarta, ketika Sunan tak punya keturunan laki-laki, tahta jatuh ke adik Sunan," kata Margana.
Kamis pekan lalu, Sri Sultan H.B. X mengeluarkan sabdatama yang berisi delapan poin utama. Di antaranya, mengganti gelar dari gelar resmi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Bawono Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama ingkang Jumeneng Kaping Sepuluh ing Ngayogyakarta Hadiningrat; mengingatkan bahwa tak seorang pun bisa memutuskan atau membicarakan ihwal Mataram, terlebih aturan mengenai Raja, termasuk aturan pemerintahannya. Yang bisa memutuskan hanya Raja; dan jika Undang-Undang Keistimewaan butuh direvisi, dasarnya sabdatama. Itulah perintah yang harus dimengerti dan dilaksanakan. Gara-gara penggantian gelar ini, adik-adik Sultan berziarah ke makam raja-jara Mataram di Kotagede dan Imogiri untuk memintakan "kesalahan" Sri Sultan H.B. X.
Adapun soal penghilangan, kata Kalifatullah, dalam gelar Sultan itu, kata Margana, ia nilai sebagai persiapan menghadapi kontroversi jika anak sulung Sultan, G.K.R. Mangkubumi, naik takhta. Sejak pertama kali berdiri dari era Kerajaan Mataram Islam sampai Kesultanan Yogyakarta, kata Margana, takhta raja atau sultan selalu diduduki oleh lelaki.
"Kalau nanti ada kontroversi bahwa 'perempuan' tak bisa menjadi pemimpin agama, toh fungsi pemimpin agama sudah dihilangkan di gelar baru itu. Ini mempersiapkan supaya nggak dipersoalkan," kata Margana.
KHAIRUL ANAM