TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Safruhan Sinungan membantah bahwa semua operator menolak tarif sistem setoran sebesar Rp 14-15 ribu per kilometer yang ditawarkan pemerintah. "Justru kami tidak pernah diajak berdiskusi soal perhitungan tarif," katanya di restoran Bale Bengong, Jakarta Timur, Kamis, 7 Mei 2015.
Awal Januari lalu, Safruhan mengatakan terjadi pertemuan antara Organda, operator, dan pemerintah DKI. Isi pertemuan itu, pemerintah menjelaskan akan mengubah sistem pembayaran angkutan umum. "Kesimpulannya, operator akan dibayar rupiah per kilometer," ujar Safruhan.
Namun, agar sistem ini bisa bergulir, menurut Safruhan, operator harus tergabung dalam sistem manajemen PT Transportasi Jakarta, sebuah badan usaha milik daerah. "Waktu itu kami sepakat dan diminta menghitung besaran tarifnya," tutur Safruhan.
Setelah menimbang pelbagai aspek, menurut Safruhan, semua operator menyepakati tarif yang akan diajukan kepada pemerintah sebesar Rp 17-18 per kilometer. Hasil perhitungan itu disampaikan pada pertemuan kedua awal Februari.
Pada pertemuan kedua itu, Safruhan melanjutkan, pemerintah juga mengajukan tarif yang besarnya Rp 14-15 ribu per kilometer. Operator pun tidak pernah mengemukakan penolakan atas tarif yang diajukan pemerintah. "Dikasih Rp 12 ribu per kilometer saja kami mau," ucapnya.
Namun, menurut Safruhan, pada pertemuan ketiga awal April lalu, pemerintah menyebutkan operator menolak tawaran itu. "Kami diminta melupakan sistem pembayaran rupiah per kilometer," katanya.
Pemerintah—ketika pertemuan itu diwakili Dinas Perhubungan dan PT Transportasi Jakarta—langsung menyodorkan dua opsi. Pertama, APTB boleh masuk ke jalur Transjakarta dan mengangkut penumpang tapi tidak boleh memungut bayaran, dan pemerintah tidak bayar rupiah per kilometer. Kedua, APTB hanya diperbolehkan beroperasi sampai perbatasan atau halte terakhir Transjakarta.
"Itu sangat di luar dugaan kami," ujar Safruhan. Menurut dia, kedua opsi tersebut merugikan operator. "Opsi pertama lebih besar ruginya. Opsi kedua juga rugi. Tapi, karena harus memilih, operator terpaksa memilih opsi kedua.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menuding operator tak kooperatif dalam menentukan tarif rupiah per kilometer. Pemerintah dan operator tak mencapai kesepakatan ihwal tarif. Karena itu, pemerintah melarang APTB masuk ke Jakarta.
ERWAN HERMAWAN