TEMPO.CO , Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat berencana menggelar rapat konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk membahas soal beleid pencalonan kepala daerah menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada Desember 2015. Agenda di tengah masa reses dewan ini muncul dari hasil rapat pimpinan DPR terkait hasil rapat konsultasi dengan Komisi Pemilihan Umum pada Senin 4 Mei 2015.
"Kami akan undang Mendagri, pimpinan fraksi dan komisi sebagai tindak lanjut rapat lalu," kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat, 8 Mei 2015.
Saat rapat konsultasi dengan KPU, DPR merekomendasikan tiga hal terkait pencalonan kepala daerah dari partai yang kepengurusannya disengketakan. Pertama, peraturan KPU seharusnya berpedoman pada putusan pengadilan paling dekat dengan jadwal pendaftaran calon kepala daerah. Kedua, DPR akan merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah terkait pasal pencalonan. Terakhir, DPR akan berkonsultasi ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung mengenai hasil rapat dengan KPU tersebut.
Namun, KPU menolak rekomendasi DPR. KPU tetap mengacu pada surat Kementerian Hukum sebagai syarat pendaftaran Pilkada. Jika surat masih disengketakan, maka KPU menggunakan putusan inkracht dan pengesahan kepengurusan hasil islah kedua kubu partai.
DPR juga mendesak KPU merevisi Undang-Undang Pilkada Pasal 42. Pasal itu menyebutkan bahwa pendaftaran calon pilkada oleh partai atau gabungan partai harus mendapat rekomendasi pengurus partai tingkat kota hingga provinsi serta surat putusan dari dewan pimpinan pusat (DPP). DPR juga ingin merevisi Pasal 32 Undang-Undang Partai Ppolitik, yang memuat aturan bahwa setiap kepengurusan partai wajib mendaftar ke Kementerian Hukum untuk mendapat pengesahan kepengurusan.
Menurut Fadli Zon, rapat konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri bertujuan untuk mencari solusi bagi kepesertaan partai yang bersengketa dalam kepengurusannya. Hingga kini terdapat dua kubu berseteru di tubuh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan.
"Jika terjadi perselisihan, gimana mengaturnya? Ini kan tidak ada di Undang-Undang," kata dia. "Kalau ada solusi lain yang memungkinkan, bisa jadi tak perlu revisi."
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sangat mendukung langkah DPR merevisi undang-undang tersebut dibanding meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. "Menurut saya, yang paling kuat melegitimasi Pilkada selamanya, ya, revisi undang-undang," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
PUTRI ADITYOWATI