TEMPO.CO, Boston - Pelaku bom Boston, Dzhokhar Tsarnaev, mengaku menyesali ulahnya. Kepada seorang biarawati Katolik, suster Helen Prejean, ia menyatakan "tidak ada seorang pun yang layak menderita" karena perbuatannya.
"Dia mengatakan dengan tegas. Dia mengatakan tidak ada yang layak menderita seperti yang dialami korban bom itu," kata Prejean, yang juga aktivis di Ministry Against the Death Penalty dan pernah dinominasikan sebagai penerima penghargaan Nobel. "Ia benar-benar menyesal atas apa yang dia lakukan."
Prejean bersaksi di pengadilan atas permintaan pengacara Dzhokhar. Ia mengaku bertemu dengan Dzhokhar lima kali di penjara. "Saya berjalan di dalam ruangan dan memandang wajahnya dan saya ingat, 'Ya Tuhan, dia begitu muda'," ujarnya mengenang pertemuan pertamanya dengan Dzhokhar. "Saya merasa dia sangat menghormati saya, dan saya merasa cukup mudah membangun hubungan."
Juri di pengadilan federal Boston bulan lalu menyatakan pemuda 21 tahun ini bersalah karena membunuh tiga orang dan melukai 264 lainnya dalam dua serangan bom pada 15 April 2013. Akhir pekan ini, mereka akan mulai berunding apakah akan menjatuhkan hukuman mati dengan suntikan mematikan kepadanya atau penjara seumur hidup tanpa kemungkinan dibebaskan.
Sejak pengadilan digelar pada awal Maret, juri telah mendengar keterangan dari sekitar 150 saksi, termasuk orang tua yang kehilangan anak dalam serangan itu. Kesaksian keluarga Dzhokhar juga didengarkan.
Selama persidangan, jaksa berusaha menggambarkan Dzhokhar, yang beretnis Chechnya, sebagai penganut ideologi Islam militan Al-Qaeda. Ia dituding sengaja melakukan serangan "untuk menghukum Amerika" atas aksi militernya di negeri-negeri Islam.
Pengacara Dzhokhar berpendapat ia adalah "pemain sekunder" dalam aksi yang dirancang oleh sang kakak, Tamerlan Tsarnaev. Pemuda 26 tahun itu meninggal pada 19 April 2013, setelah adu tembak dengan polisi berakhir ketika Dzhokhar secara tidak sengaja menabraknya dengan kendaraan yang dicuri saat ia melesat pergi dari tempat kejadian. Beberapa jam sebelumnya, mereka menembak mati seorang petugas keamanan di sebuah universitas di kota itu.
Hukuman mati tidak populer di Boston. Undang-undang negara bagian pun tidak mengizinkan hukuman itu. Jajak pendapat menunjukkan warga lebih memilih Dzhokhar menjalani hukuman penjara seumur hidup.
John Oliver, sipir penjara dengan keamanan maksimum di Florence, Colorado, tempat Dzhokhar akan dikirim jika terhindar dari hukuman mati, mengatakan kepada juri kemarin bahwa Dzhokhar bisa menulis sebuah buku, menonton televisi, dan mendapatkan gelar sarjana selama di penjara. Jaksa dan pengacaranya dijadwalkan membacakan argumentasi penutup mereka pada Rabu, 13 Juni 2015, setelah satu hari istirahat.
REUTERS | INDAH P.