TEMPO.CO , Jakarta - Kriminolog Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi, mengingatkan ancaman bentuk kejahatan baru dari era globalisasi. Kasus Warga Negara Asing yang memakai dokumen palsu untuk membuka rekening bank, menurut dia, adalah alarm yang harus diwaspadai.
"Indonesia mesti mewaspadai jaringan internasional yang memanfaatkan celah hukum sehingga muncul kejahatan baru," kata dia kepada Tempo, Kamis 14 Mei 2015.
Sebelumnya diberitakan seorang WNA berkebangsaan Kongo memiliki enam paspor palsu untuk membuka empat rekening bank swasta di DKI Jakarta. Kyandomanya Vikono Ephratient, WNA tersebut, juga memalsukan KITAS untuk membuka rekening bank. "KITAS itu yang mengeluarkan imigrasi tapi dicek di sistem tidak ada namanya," kata Bambang Satrio, Kepala Kantor Imigrasi Kelas l Jakarta Barat.
Josias tak menampik dugaan WNA tersebut terlibat jaringan atau sindikat pencucian uang atas aktivitas ilegal tertentu. "Dugaan ke sana ada tetapi ini perlu diuji dulu," kata dia. Ia juga menyebutkan aktivitas ini sebagai salah satu aktivitas ilegal yang mesti diwaspadai oleh Indonesia.
Ephratient memiliki dua rekening dengan nama Kenneth Jack Haycock yang berpaspor Cili, Paul Adam yang berpaspor Portugal dan Yotnapla Mahahing. Saldo di buku tabungan yang tercetak hanya sebesar saldo pembukaan awal, Rp 500 ribu. Petugas imigrasi belum dapat mengetahui perputaran uang dalam rekening tersebut karena belum dapat izin dari bank bersangkutan untuk mengecek transaksi yang ada. Petugas imigrasi juga kesulitan mendapatkan password dari Ephratient yang tak terlalu fasih berbahasa Inggris.
Saat diwawancarai, Ephratient mengatakan sumber uang berasal dari ayah dan saudara-saudaranya. "Dia mengaku paspor palsu itu milik saudara kembarnya yang sedang ia cari keberadaannya," kata Bambang. Sementara itu, Ephratient berkata, "saya janjian dengan saudara kembar saya untuk menjemputnya pulang kembali ke rumah. Saya diminta ayah untuk menjemput dia," kata Ephratient.
Ephratient mengaku baru satu setengah bulan berada di Indonesia. Tetapi kepada petugas imigrasi ia mengaku sudah dua tahun menetap di Indonesia dan berbisnis garmen di sini. Di Kongo, ia mengaku bekerja sebagai petani biasa.
Atas tindakan ini, kata Bambang, Ephratien melanggar pasal 119 huruf b dengan ancaman hukuman pidana penjara lima tahun. Pasal tersebut mengatur soal penggunaan dokumen perjalanan palsu. "Besar kemungkinan dideportasi," kata dia. Bambang juga mengatakan akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengembangkan unsur pidana terkait dengan kepemilikan rekening tersebut.
DINI PRAMITA