TEMPO.CO, London - Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Federasi Perdagangan Kakao (FCC) London untuk mengurangi biaya keluar atau pajak impor produk olahan kakao dari Indonesia ke Eropa.
"Kita minta perlakuan terhadap potensi Indonesia dalam produksi olahan biji kakao itu jangan diskriminasi. Kalau kakao kita masuk ke sini (Eropa), itu dikasih pajak impor 5 sampai 6 persen, kalau Afrika tidak diberi pajak," kata Jusuf Kalla di London, Inggris, Kamis, 14 Mei 2015.
Kalla berada London untuk menghadiri Konferensi FCC tahunan di London, yang dimulai Jumat, 15 Mei 2015. Sebagai negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekspor komoditas kakao ke pasar Eropa. Namun, ekspor tersebut selama ini mengalami kesulitan ekspor karena tingginya biaya masuk atau biaya impor yang diberlakukan terhadap komoditi kakao dari Indonesia.
"Akhir-akhir ini hampir semua komoditas harganya turun, kecuali kakao. Artinya, ada potensi permintaan dunia terhadap kakao dan produk olahannya semakin baik dan ini juga potensi bagi kita sebagai negara penghasil kakao terbesar nomor tiga di dunia," jelas Kalla.
Indonesia berada di urutan ketiga, setelah Pantai Gading dan Ghana, dalam menghasilkan biji kakao. Bahkan, produksi biji kakao Indonesia dengan Ghana hanya selisih 50 ribu ton per tahun.
Produksi biji kakao Indonesia per tahun 700 ribu ton dan Ghana 750 ribu ton. "Target kita menaikkan 50 persen produksi kakao untuk keperluan ekspor di 2020," kata Kalla.
Dengan peningkatan produksi biji kakao di Indonesia, maka hal itu juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani kakao karena selama ini produksi kakao langsung dari petani kepada industri pengolahnya.
"Produksi kakao itu 95 persen dari petani, itu bagusnya komoditi ini, sehingga pemerataannya bagus dan penghasilannya juga langsung ke petani," katanya menambahkan.
Kalla mengatakan misinya ke London adalah untuk meningkatkan usaha perkebunan kakao di Indonesia supaya dapat meluas hingga pasar Eropa. "Kakao itu hasil pertanian terbesar kita ketiga untuk ekspornya, setelah minyak kelapa sawit dan karet," kata dia.
ANTARA