TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Anang Iskandar mengatakan penerapan pasal pencucian uang terhadap bandar narkoba merupakan pekerjaan yang tak mudah. Menurut Anang, penyidik BNN memerlukan ilmu khusus untuk melacak harta kekayaan bos narkoba.
"Sebab setiap pelaku punya cara tersendiri untuk menyembunyikan hartanya," kata Anang seusai acara diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu, 16 Mei 2015.
Jenderal polisi bintang tiga itu mengatakan salah satu cara BNN mengatasi kesulitan tersebut yakni menggunakan teknik intelijen. Menurut dia, teknik intelijen cukup ampuh membongkar keberadaan harta milik bos narkoba yang sengaja disembunyikan. Selain itu, BNN menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan untuk melacak aliran duit bos narkoba.
"Kalau belum ketemu (aliran duit dan hartanya) memang sulit. Kalau sudah ketemu, ya gampang," katanya.
Jika sudah berhasil merampas harta bos-bos narkoba, BNN segera menyerahkannya ke kas negara melalui Kementerian Keuangan. Menurut Anan, duit tersebut akan diserahkan kepada penegak hukum, termasuk BNN, sebagai dana pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba. "Jadi kami tak simpan langsung duit bandar narkoba itu," kata Anang.
Sepanjang 2014, BNN menyidik 15 kasus pencucian uang bos narkoba. Walhasil, BNN bisa merampas duit lebih dari Rp 100 miliar.
Bos-bos narkoba terbukti bergelimang harta dari bisnis haramnya. Sebagai contoh, bos narkoba Freddy Budiman diduga memiliki aset senilai Rp 70 miliar dari bisnis narkoba. Aset tersebut berupa rumah, rumah-toko, dan mobil.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun setuju jika bandar narkoba yang tertangkap, selain dihukum pidana, harus dimiskinkan. Kalla menambahkan, aset bandar narkoba yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang harus disita negara.
"Kalau disita barangnya, tentu dia (bandar narkoba) langsung miskin," kata Kalla di Hotel JS Luwansa, 6 Mei lalu. "Selama ada pasal yang menjerat dan memenuhi syarat untuk menyita asetnya, ya pasti asetnya disita."
INDRA WIJAYA