TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog UI Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan penerapan disiplin yang dilakukan oleh pasangan Utomo dan Nurindria di Cibubur dengan menelantarkan anaknya sudah termasuk tindak kekerasan pada anak.
Menurut Vera, penerapan disiplin dapat dijabarkan berdasarkan tujuannya. Di antaranya untuk membantu anak belajar bagaimana hidup di tengah keluarga dan teman, kemudian mengajarkan pada anak agar dapat berperilaku yang dapat diterima lingkungan.
Tujuan selanjutnya adalah memberi anak kesempatan untuk belajar dari kesalahan dan merasakan konsekuensi dari perilakunya tersebut. "Disiplin yang positif dan efektif itu adalah disiplin yang membantu, mengajarkan, dan membuat anak mau belajar," kata Vera kepada Tempo, Selasa, 19 Mei 2015.
Vera mengatakan dalam disiplin ada penetapan aturan atau tuntutan yang disesuaikan dengan aturan anak. Sebagai contoh, anak usia 3 tahun sudah dapat diberi aturan untuk merapikan mainannya. Sedangkan anak di bawah usia tersebut belum bisa karena kemampuannya belum memadai untuk bisa merapikan mainan sendiri.
Dalam disiplin dikenal konsep konsekuensi. Namun konsekuensi ini, menurut Vera, bukan hukuman, apalagi hukuman fisik. "Konsekuensi merupakan akibat dari perbuatan anak," kata dia.
Vera menjelaskan setidaknya ada dua macam konsekuensi, yaitu alami dan logis. Contoh konsekuensi alami misalnya saat anak berlama-lama ketika bersiap ke sekolah. Konsekuensinya dia akan terlambat ke sekolah dan terkena sanksi dari sekolah.
Sedangkan untuk konsekuensi logis, ini merupakan konsekuensi yang dibuat dan disepakati antara orang tua dan anak. Contoh, ada kesepakatan untuk membuat PR. Jika tidak dilakukan, maka konsekuensinya tidak boleh menonton TV.
Jenis hukuman fisik sebisa mungkin dihindari. "Hal ini tak dianjurkan karena akan membuat harga diri anak terluka. Anak hanya ingat rasa sakitnya saja, mengajarkan kekerasan. Anak menjadi emosional berlebihan dan anak tidak mendapatkan pesan yang sebenarnya," ujar Vera.
AISHA SHAIDRA