TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan partainya mengajak mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membantu pemerintah Presiden Joko Widodo memberantas keberadaan mafia minyak dan gas.
Tawaran itu diajukan mengingat kapasitas dan pengalaman Yudhoyono sebagai mantan pemimpin negara dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. "Itu yang melatari penjelasan menteri ESDM beberapa waktu lalu," kata dia, Rabu, 20 Mei 2015. "Jadi lebih baik bekerja sama."
Sosok Yudhoyono menuai sorotan setelah Menteri ESDM Sudirman Said menuding pemerintahan Yudhoyono melanggengkan inefisiensi pengelolaan minyak dan gas dengan tetap mempertahankan keberadaan anak perusahaan PT Pertamina, Pertamina Energy Trading Ltd atau yang dikenal dengan sebutan Petral. Mantan Direktur PT Pindad itu menuding Yudhoyono tak pernah merespons keinginan membubarkan Petral, padahal permintaan itu sudah diajukan berulang kali oleh seorang menterinya.
Menurut Hasto, pernyataan itu tak bermaksud menyudutkan peran pemerintah Yudhoyono. Alasan yang melatari pernyataan tersebut adalah keinginan pemerintah Joko Widodo merangkul sosok yang berkomitmen membenahi tata kelola minyak dan gas yang selama ini dianggap sebagai sumber inefisiensi.
"Sosok seperti SBY atau siapa pun yang dianggap memiliki kemampuan mendukung tujuan itu diharapkan bersedia memberikan kontribusinya dalam bentuk apa pun," kata dia.
Meski demikian, kata Hasto, tawaran itu tak berarti Presiden Joko Widodo menawarkan kursi Kementerian ESDM kepada kader Demokrat. "Bukan itu maksudnya. Itu terlalu jauh," katanya.
Menurut Hasto, kerja sama itu bisa diartikan sebagai ajakan untuk ikut memikirkan strategi kedaulatan energi yang dicita-citakan dalam visi Trisakti dan Nawacita. "Jangan sampai sumber daya yang kita miliki diambil alih pengelolaannya untuk kepentingan asing. Sumber daya alam harus digunakan untuk kepentingan rakyat," kata dia.
Hasto menjelaskan, konsep kedaulatan energi sudah dirintis pemeritahan Jokowi dengan membekukan Petral. Sebab, kata dia, perusahaan tersebut dianggap mengebiri kemampuan negeri ini untuk membangun kilang pengolahan minyak. Keberlangsungan bisnis Petral juga disinyalir sarat kolusi dengan para penguasa.
Dia optimistis bisa mengelola minyak untuk sendiri dengan pengalaman seabad ini. "Ini hanya masalah political will," katanya.
RIKY FERDIANTO