TEMPO.CO , Makassar:Tubuh-tubuh berbalut kain putih berjalan berkelompok menaiki panggung. Seirama dengan gerak tubuh yang lembut, tangan mereka juga ikut bergerak mengikuti langkah kecil mereka. Kadang ke kiri, kadang ke kanan.
Di panggung, kain putih dipegang dengan cara menguntal dan diangkat melewati kepala. Lalu kain itu dibiarkan terjurai hingga jatuh ke lantai. Selanjutnya, delapan penari ini duduk dan memiringkan tubuhnya ke kanan dan tangan digerakkan seperti ingin menggapai sesuatu. Seseorang tiba-tiba berdiri dan berkata: “kosong”.
Panggung Festival Kampung Seni dan Budaya yang berlangsung 18–19 Mei lalu, di Fort Rotterdam, Makassar, nyaris tak pernah kosong. Tak hanya pertunjukan kolaborasi seni tari, musik, serta teater yang diadakan, tapi juga pertunjukan monolog.
Salah satu pertunjukan monolog yang cukup mencuri perhatian adalah penampilan seniman negeri jiran Malaysia, Khalid Salleh, yang membawakan monolog berjudul “Jual Ubat” di malam pertama festival. Khalid tak sendiri, ia datang bersama lima perwakilan dari Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM).
Ketua panitia festival, Asia Ramli Prapanca, mengatakan kegiatan ini membuka ruang bagi siapa saja untuk berekspresi, agar setiap kelompok umur bisa mencintai kembali seni dan budaya. Karena itu, acara ini melibatkan semua pihak, dari siswa, mahasiswa, sanggar seni dan komunitas, hingga tamu khusus dari Malaysia.
“Acara ini memberi ruang kepada mereka yang berumur emas (muda) untuk mencintai seni dan budaya,” kata Mohd Khair Ngadiron, salah satu perwakilan dari Malaysia. Ia berharap kerja sama berikutnya bisa ditingkatkan dengan memberi ruang bagi ITBM untuk menampilkan teater. Menurut dia, kegiatan seperti ini akan lebih mempererat hubungan antara Forum Sastra Kepulauan (Makassar) dan ITBM Malaysia.