TEMPO.CO, Jakarta - Harga beras dinilai masih berada di level yang cukup tinggi, kendati dari segi perhitungan antara produksi dan konsumsi per kapita, Indonesia seharusnya masih memiliki surplus.
Guru Besar Insititut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengatakan Indonesia saat ini sedang mengalami krisis beras karena harga beras pada hari ini masih stabil tinggi. Sementara itu operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog pada Februari – Maret yang sempat menurunkan harga di pasar, sebenarnya lebih dipengaruhi karena panen raya yang terjadi pada masa yang sama.
“Seharusnya jika dibandingkan antara target produksi dengan konsumsi per kapita, kita masih surplus beras. Tetapi kenyataannya kita sedang mengalami krisis karena harga ternyata masih stabil tinggi,” kata Dwi Andreas, di Jakarta, Senin (25/5/2015).
Kondisi tersebut menurutnya didorong karena mata rantai distribusi beras dari petani hingga berada di tangan konsumen melewati mata rantai distribusi yang sangat panjang antara 7—8 rantai distribusi.
Dari pengamatannya harga gabah kering panen di tingkat petani antara Rp3.000-Rp3.300 yang artinya berada di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp3.700. Namun, harga beras di pasar menurutnya tidak banyak berubah.
Berdasarkan data laporan pemantauan harga dan pasokan di pasar induk oleh Kementerian Perdagangan pada 25 Mei 2015 dibanding harga seminggu sebelumnya, harga semua beras jenis muncul stabi bila dibanding harga minggu lalu. Sedangkan harga jenis beras IR64II dan III mengalami kenaikan harga berkisar antara 0,66% - 1,20% dengan harga Rp7.650 (IR 64 III) dan Rp8.400 (IR 64 II).
Sementara dari pasokannya, pasokan rata-rata beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dalam seminggu terakhir mencapai 3.152ton. Sedangkanpada 23 Mei mencapai 1.664 ton. Kondisi pada hari tersebut berada di bawah kondisi normal sebesar 33,44% di PIBC yaitu antara 2.500 – 3.000 ton per hari.