TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengevalusi proyek infrastruktur dalam rapat terbatas hari ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan succes rate proyek-proyek infrastruktur rendah pada beberapa tahun terakhir. Belajar dari pengalaman tahun lalu, pemerintah tidak ingin succes rate kembali rendah. "Dulu prosesnya panjang sekali, kita mau potong," kata Jokowi di Kantor Presiden, Selasa, 26 Mei 2015.
Dia mencontohkan proyek Mass Rapid Transportation dari masa prastudi kelayakan hingga pelaksaaan membutuhkan waktu 10 tahun. Rapat kabinet memutuskan semua proyek harus dikerjakan lebih cepat dengan mengidentifikasi hambatan serta kesejangan antara keputusan dan realisasi, seperti aturan yang tumpang-tindih, anggaran tidak sesuai, dan izin lokasi.
Jokowi, kata dia, menginginkan pemerintah membuat sebuah grup berisi para pihak yang terlibat duduk bersama untuk membahas setiap proyek yang terhambat. Forum tersebut diperlukan untuk mengatasi masalah sedetail-detailnya hingga realisasi proyek dapat ditentukan. "Hari ini keputusan, berapa hari realisasi," katanya.
Pemerintah telah menerapkan beberapa pilot project infrastruktur untuk pembentukan forum grup tersebut. Di antaranya adalah realisasi pembangunan kilang minyak Bontang, pelaksanaan tender Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Semarang Barat yang ditargetkan akhir Juni, dan tender jalan tol Balikpapan-Samarinda yang ditargetkan September selesai.
Deputi Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy S. Priatna mengatakan Jokowi tidak hanya ingin pembangunan proyek infrastruktur berlangsung cepat tetapi juga langkah governence yang aman tanpa dipermasalahkan KPK, kepolisian maupun kejaksaan.
"(Akan) dibuat inpres atau perpres ini akan dipelajari," katanya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, kata Deddy, mengusulkan peraturan tersebut dapat memayungi kesepakatan stakeholder dalam mempercepat proyek infrastruktur. Sehingga jika terjadi masalah di kemudian hari, langkah percepatan pembangunan tidak dapat dikriminalisasi.
Dengan demikian, ada kejelasan payung hukum untuk melindungi pemerintah saat mengambil kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur. Dia mencontohkan PLN yang mau menunjuk langsung BUMN tanpa tender untuk proyek transmisi listrik. PLN, kata dia, dapat menunjuk langsung karena tidak memiliki dasar hukumnya meski langkah tersebut bisa masuk dalam kebijakan corporate strategy.
"Tetapi enggak mau, enggak berani. Supaya berani maka dipayungi perpres atau inpres supaya tidak dikriminalisasi," katanya. Regulasi ini, kata dia, akan berlaku ke semua proyek infrastruktur, termasuk yang menggunakan konsep public private partnership. Dia mengatakan ke depan tidak perlu perpres-perpers seperti penunjukan Hutama Karya saat mengerjakan tol trans Sumatera.
ALI HIDAYAT