TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum mendukung usulan penggabungan Undang-undang tentang Pemilihan Umum. Hal ini, menurut Ketua KPU Husni Kamil Manik, diperlukan demi mempermudah kinerja KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
"Setiap kali mau Pemilu, setiap kali itu pula UU berubah. Jadi waktu pengesahan revisi itu mepet sekali dengan tahapan sehingga menyulitkan kami," kata Husni dalam diskusi Kodifikasi UU Pemilu di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu, 27 Mei 2015.
Husni mengatakan ada tiga aturan tentang penyelenggaran Pemilu, yaitu UU Pilpres, Pileg, dan Pilkada. Ketiga beleid ini masih tumpang tindih dan menyulitkan kerja KPU. Contohnya, kegiatan rekrutmen Panitia Pemungutan Suara di setiap TPS.
"Sekarang rekrutmen itu tiga kali untuk tiga Pemilu. Kalau bisa dua kali saja untuk Pileg dan Pilpres digabung, lalu untuk Pilkada, maka anggaran Pemilu akan lebih hemat," kata dia.
KPU mendorong agar pemerintah dan DPR mulai membahas usulan kodifikasi. Idealnya, kata Husni, kodifikasi UU harus selesai pada 2016. Agar bisa langsung diterapkan dalam Pilpres 2019. "Sehingga penyelenggara Pemilu bisa melakukan persiapan lebih awal dengan menggunakan kitab UU Pemilu," kata Husni.
Sebelumnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya mendesak pemerintah membahas kodifikasi UU Pemilu. Mereka bahkan membentuk kajian inisiatif yang dituangkan dalam naskah kodifikasi UU Pemilu. Naskah itu terdiri dari enam buku, 29 bab, dan 542 pasal.
"Mudah-mudahan ini menjadi amal baik kami bagi demokrasi, dan menjadi masukan bagi DPR untuk segera bergerak meng-sinkronkan UU Pemilu," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
INDRI MAULIDAR