TEMPO.CO, Jakarta - Dua bulan telah berlalu sejak jenazah Akseyna Ahmad Dori, mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, ditemukan. Namun hingga saat ini belum ada titik terang ihwal penyebab kematiannya, apakah dibunuh atau bunuh diri.
Kepolisian Resor Kota Depok, yang bertanggung jawab menyidik kasus ini, seolah-olah tak berani membuat pernyataan ihwal kasus ini. Kriminolog UI dan anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala, mengatakan kepolisian tidak bisa gegabah memberikan pernyataan.
"Soalnya ini menyangkut nama baik," katanya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 26 Mei 2015. Setiap pernyataan yang dibuat kepolisian, kata dia, harus disertai dengan alasan dan bukti yang kuat.
Adrianus menerangkan, apabila menyebutkan mahasiswa berusia 20 tahun ini bunuh diri, kepolisian harus menunjukkan bukti motif yang kuat dan jelas. Sedangkan kalau mengatakan kasus ini adalah pembunuhan, kepolisian bertanggung jawab memaparkan modus, identitas, serta alasan pelaku.
Kasus ini, menurut Adrianus, masih sangat berkabut. "Kalau bunuh diri, motif tak jelas. Kalau dibunuh, modusnya juga kabur," ucapnya. Namun ia tetap meminta kepolisian terbuka atas temuan-temuan baru yang bisa menjadi petunjuk pengungkapan kasus ini.
Kapolres Kota Depok Ajun Komisaris Besar Dwiyono, yang dilantik pada Selasa, 26 Mei 2015, mengatakan masih belum bisa berbicara banyak tentang penyelidikan kasus Akseyna. "Masih melakukan penyelidikan terus," tuturnya.
Ia juga mengatakan akan meneliti tulisan tangan di "surat wasiat" Akseyna, setelah sebelumnya grafolog American Handwriting Analysis Foundation, Deborah Dewi, mengungkap bahwa ada dua orang yang menulis surat yang ditemukan di kamar Akseyna tersebut.
URSULA FLORENE SONIA | IMAM HAMDI