TEMPO.CO, Palmyra - Kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menembak mati sedikitnya 20 pria di Kota Palmyra di Suriah. Menurut sejumlah aktivis pemerhati hak asasi manusia, para korban itu dibunuh karena berperang membela pemerintah.
"ISIS mengeksekusi 20 pria. Mereka dikumpulkan bersama di depan bekas bangunan teater Romawi Palmyra, selanjutnya ditembak mati. Para korban pembunuhan itu dituduh berkolaborasi dengan pemerintah," kata Rami Abdel Rahman dari Syrian Observatory for Human Rights kepada kantor berita AFP.
Rahman mengatakan, "Militan ISIS mengumpulkan banyak orang di depan bekas bangunan teater Romawi kuno dengan tujuan memamerkan kekuatan pasukan mereka di darat."
ISIS telah melakukan berbagai kekejaman, termasuk menunjukkan rekaman video pemenggalan kepala dan pembunuhan massa, pemerkosaan, dan perbudakan di kawasan yang mereka kuasai di Suriah dan Irak.
"Pembunuhan, jika hal tersebut benar, dapat dikategorikan awal sebuah sinyal dimulainya barbarisme kelompok bersenjata ini dan kebiadapan terhadap monumen peninggalan sejarah kuno di Palmyra," ujar direktur benda-benda kuno Suriah, Mamoun Abdulkarim, kepada AFP.
"Penggunaan teater Romawi untuk mengeksekusi para korban membuktikan bahwa mereka benar-benar tidak manusiawi," tuturnya.
ISIS menguasai Palmyra, atau dikenal dengan Tadmur dalam bahasa Arab. Kota kuno itu dimasukkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO, badan pendidikan dan kebudayaan PBB, pada 21 Mei 2015 setelah melakukan serangan berdarah selama sembilan hari.
Sejak itu, ujar lembaga hak asasi yang berbasis di London tersebut, mereka mengeksekusi setidaknya 217 orang, berikut 67 warga sipil, di dalam dan sekitar Palmyra.
Kepala Kebijaksanaan Luar Negeri Uni Eropa Federica Moherini pada Kamis pekan lalu memperingatkan bahwa di kawasan Palmyra berpotensi terjadi kejahatan perang. Ribuan orang, ujar Moghrini, bakal menjadi korban kekerasan dan hancurnya situs budaya di sana.
"ISIS melakukan pembunuhan massa dan menghancurkan warisan dunia, arkeologi, dan budaya di Suriah serta Irak. Hak tersebut menurut Statuta Roma Pengadilan Kejahatan Internasional dikategorikan sebagai sebuah kejahatan perang."
AL JAZEERA | CHOIRUL AMINUDDIN