TEMPO.CO, Kudus - Kenaikan harga pokok produksi (HPP) gula dari Rp 8.500 per kilogram menjadi Rp 8.900 per kilogram, ditanggapi dingin sejumlah petani tebu di Kudus, Jawa Tengah. Mereka menganggap harga itu masih rendah.
Terutama karena harga sewa lahan tebu sangat tinggi. “Kalau dihitung dengan biaya sewa lahan, keuntungan masih sangat sedikit,” kata petani tebu, Suharjo, saat dihubungi Tempo, Minggu, 31 Mei 2015.
Dia berharap, pemerintah bisa memberikan jaminan untuk menutupi rendahnya HPP tersebut. Jaminan itu, berupa kepastian penyangga dari investor, selama berlangsungnya produksi. Tujuannya, agar harga jual gula tidak merosot.
Selain itu, rendahnya rendemen gula yang dihasilkan pabrik gula, dianggap membahayakan keberlangsungan bagi petani tebu. Pasalnya tingkat rendemen dan harga gula menjadi penentu bagi petani di masa mendatang, tetap melanjutkan budi daya atau tidak.
Meski kecewa dengan HPP yang sudah ditentukan pemerintah. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) Nur Khabsyin mengaku pasrah dengan ketentuan itu. “Mau bagaimana lagi, walau harga rendah tetap kami terima,” ujarnya. Menurut dia, HPP Rp 8.900 per kilogram itu sebenarnya di bawah usulan harga yang mereka ajukan.
APTRI sebenarnya mengusulkan HPP Rp 11.750 per kilogram. Sedangkan usulan Kementerian Pertanian sebesar Rp 9.750 per kilogram. “Yang terpenting keuntungan masih bisa didapat, meski sedikit,” katanya.
FARAH FUADONA