TEMPO.CO, Yogyakarta - Warga Bantul khawatir bakal terjadi gempa besar setelah banyak cacing tanah keluar ke permukaan sejak awal pekan ini. Mereka masih trauma dengan gempa tahun 2006 yang menewaskan 5.700 orang.
"Fenomena alam itu perlu dikaji secara ilmiah," kata Prasetyadi, pakar geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Rabu, 3 Juni 2015. Ia mengatakan hal itu dianggap saja hipotesis dulu, jangan langsung dianggap benar atau disalahkan.
Prasetyadi belum pernah menemukan hasil riset yang membahas keterkaitan sensor hewan dengan pertanda gempa. Menurut dia, pengamatan ilmiah mengenai respon hewan terhadap perilaku tanah menjelang bencana banyak ditemukan di kajian mengenai erupsi gunung berapi.
"Di fenomena gunung api, getaran gempa dan peningkatan suhu tanah bersifat lokal dan di permukaan, sehingga mudah tertangkap sensor hewan. Tapi kalau gempa bumi dinamikanya ada di dalam (lapisan tanah)," kata dia.
Namun, katanya, mengabaikan pertanda alam berupa kasus banyak cacing keluar dari tanah di Bantul begitu saja juga tidak memberikan edukasi secara tepat ke publik. Padahal, respon kekhawatiran masyarakat terkait fenomena ini menandakan telah ada kesadaran meluas mengenai kewaspadaan terhadap bencana gempa bumi. "Waspada boleh, tapi harus obyektif."
Prasetyadi menyimpulkan saat ini ada dua hipotesis mengenai penyebab banyak cacing keluar dari tanah. Di satu sisi ada isu yang menganggapnya pertanda akan ada gempa bumi besar karena ada kesaksian fenomena semacam ini pernah terjadi menjelang bencana besar di Bantul dan Klaten pada 27 Mei 2006. Namun ada kemungkinan cacing tanah keluar ke permukaan akibat efek perubahan cuaca.
Cara paling tepat untuk menguji dua hipotesis itu, menurut Prasetyadi, ialah dengan memantau peristiwa keluarnya cacing tanah itu di Bantul dan daerah lain. Apabila kasus ini terjadi di Bantul dan daerah lain yang sama-sama mengalami peningkatan suhu dan terguyur hujan mendadak di masa pancaroba selama awal pekan ini, maka itu terjadi akibat cuaca. "Paling mudah, bandingkan antara Bantul dengan Kulonprogo atau Kebumen. Di sana apa juga ada kasus cacing keluar dari tanah," kata dia.
Kalau temuan kasus cacing keluar dari tanah memang hanya ada di Bantul, Prasetyadi menyarankan ada kajian lebih rinci. Dia mengusulkan ada pemetaan di kawasan mana saja di sekitar Bantul ada kasus cacing tanah keluar ke permukaan. "Apa sesuai dengan jalur titik rawan gempa atau tidak," kata Prasetyadi.
Menurut dia, kajian seperti ini bisa bermanfaat untuk menambah variabel mengenai metode deteksi gempa bumi yang saat ini belum banyak, utamanya dari kasus respon hewan. Pengamatan mendetail kemudian perlu dilakukan terhadap aktivitas lempeng dan sesar aktif di sekitar Bantul. "Kalau memang kasus cacing keluar dari tanah hanya di jalur rawan gempa, malah bisa jadi trigger untuk kajian ilmiah deteksi bencana," dia menambahkan.
Meski demikian, dia berpendapat hipotesis cacing tanah bisa merespon pertanda gempa lemah. Alasan Prasetyadi, aktivitas lempeng di pusat gempa paling dangkal sekali pun biasanya ada di kedalaman hampir mencapai 10 atau belasan kilometer. "Sementara habitat cacing hanya beberapa meter atau sentimeter saja di bawah permukaan tanah," katanya.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM