TEMPO.CO, Pontianak - Tanjung Gunung, dusun di daerah penyangga Taman Nasional Gunung Palong, tadinya mayoritas dihuni para pembalak hutan ilegal. Setelah sekian lama, kini mereka insyaf bahkan ikut dalam konservasi wilayah taman nasional.
"Kami melakukan pendekatan fasilitasi masyarakat. Konsepnya berupa menjalin pertemanan dengan masyarakat di zona peyangga taman nasional," kata Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palong Dadang Wardhana, Rabu, 3 Juni 2015.
Konsep tersebut dikembangkan oleh Indonesia-Japan Project for Development of REDD+ Implementation Mechanism. Dadang mengatakan, terdapat 23 desa yang berada di sekitar taman nasional. Namun hanya 13 desa yang berada di kawasan penyangga taman nasional.
Dadang menambahkan, pada 1998 hingga 2004, warga desa menjadi pembalak liar. Mereka menjarah pohon-pohan bernilai di areal taman nasional. Sekitar 60 hektare dari total luasan 90 ribu hektare areal taman nasional, menjadi sasaran pembalakan liar.
Polisi hutan yang hanya berjumlah 25 orang harus bekerja keras mengatasi masalah ini. Posisi penegak hukum dan para pembalak yang notabene warga sekitar, berseberangan. Dadang berkisah, dulu tiap kali mobil patroli memasuki Tanjung Gunung, penduduk menyingkir.
Mereka berpikir akan ada operasi penangkapan. Di sisi lain, polisi hutan juga waswas akan perlawanan masyarakat. Tapi suasana berubah sejak Januari 2015. Perdamaian itu diawali anggota polisi hutan yang membantu membawa bibit ikan mas dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kayong Utara, untuk warga Tanjung Gunung.
"Bukan hal mudah bagi para fasilitator membangun kepercayaan ini. Butuh sepuluh bulan membangun pertemanan ini," kata Dadang.
Harman, 39 tahun, mantan pembalak liar Tanjung Gunung, bahkan menjadi penggerak di daerahnya untuk kegiatan konservasi. Dia melakukan pembibitan mangrove bersama masyarakat setempat, dan ikut aktif menanam kawasan hutan mangrove di kaki Taman Nasional Gunung Palong.
"Untuk pengamanan daerah taman nasional yang jadi kawasan pemanfaatan, kami tanam jabon," katanya. Harman mengaku jera menjadi pembalak liar. Dia merasakan daerahnya banjir karena tutupan lahan yang hilang akibat penebangan.
Dia sadar, apa yang telah dirusak sulit dipulihkan dalam waktu dekat. "Mata saya terbuka, dapat uang bukan hanya dengan menebang pohon. Menjaga alam juga bahkan bisa dapat uang," kata Harman. Desa tersebut menjual paket wisata ekologi.
Turis mancanegara bisa menikmati kawasan hutan taman nasional dan pulau-pulau di sekitar kawasan mangrove, sambil ikut menanam mangrove. Dia mengatakan, kini mayoritas penduduk yang tadinya bergantung pada kayu sebagai mata pencarian, beralih profesi.
"Kami bahkan saat ini berteman akrab dengan polisi hutan. Sudah kami anggap saudara, kebanyakan mereka berasal dari luar Kalbar," katanya.
ASEANTY PAHLEVI