TEMPO.CO , Yogyakarta: Beragam cara dilakukan otoritas kampus untuk mendeteksi apakah skripsi mahasiswanya hasil pemikiran sendiri atau plagiat. “Jika ada kesamaan di atas 15 persen dengan karya orang lain, maka itu sudah termasuk dalam tindakan plagiat,” kata Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Siti Ruhaini Dzuhayatin, kepada Tempo, akhir Mei lalu.
Menurut dia, praktek jual-beli skripsi yang menjamur dengan label bimbingan dan olah data bisa dikategorikan perbuatan kriminal. “Karena masuk dalam kejahatan intelektual,” kata dia.
Pihak kampus, kata Siti, masih kesulitan mengetahui hasil karya mahasiswanya otentik atau jiplakan. Cara paling efektif mendeteksi karya mahasiswa adalah dengan membandingkan kesamaan di atas 15 persen dengan karya orang lain.
Saat ini di UIN ada dua pendapat tentang skripsi. Di beberapa fakultas yang mengedepankan intelektualitas, pembuatan skripsi masih menjadi kewajiban. “Sedangkan untuk fakultas teknik, skripsi bisa dialihkan dengan pembuatan proyek,” kata Siti.
Kesulitan mengetahui skripsi mahasiswa hasil karya sendiri atau jiplakan juga diakui Rektor UPN Veteran Yogyakarta, Sari Bahagiarti. “Yang bisa dideteksi, jika skripsi tersebut hasil plagiat atau penjiplakan skripsi orang lain,” ujarnya kepada Tempo.
Untuk mengetahui skripsi hasil orisinal mahasiswa atau bukan, Sari punya beberapa cara. Salah satunya, jika skripsi yang disusun biro jasa hanya merombak hasil skripsi orang lain, itu sudah masuk kategori plagiat. “Mahasiswa bisa dikenai sanksi akademik. Gelarnya bisa dicabut,” kata dia.
Bimbingan Rutin
Langkah lain untuk mencegah munculnya skripsi instan dari biro jasa, dia mewajibkan seluruh dosen pembimbing melakukan tatap muka dengan mahasiswa. “Harus beberapa kali tatap muka sebelum skripsi diujikan,” ujar Sari. Bimbingan rutin melalui bertemu langsung dinilai bisa meminimalkan tindakan mahasiswa membeli skripsi.
Pertemuan antara dosen pembimbing dan mahasiswa untuk mencegah praktek jual-beli skripsi tak menjadi budaya juga diungkapkan pengamat pendidikan dari Taman Siswa Yogyakarta, Darmaningtyas. Dia menyarankan agar dosen pembimbing teliti dan mengetahui cara berpikir mahasiswa. Melalui cara ini, kata dia, dosen akan mengetahui apakah skripsi yang dibuat mahasiswa orisinal atau hasil biro jasa.
Menurut Darmaningtyas, praktek jual-beli skripsi sudah ada sejak awal 1980-an. Bahkan ketika itu sempat muncul wacana penghapusan kewajiban membuat skripsi. “Wacana muncul karena ditemukan kasus jual-beli skripsi,” ujarnya kepada Tempo, awal pekan ini.
ALI NY | VENANTIA MELINDA