TEMPO.CO, Singapura - Jenazah lima anak-anak dan seorang guru dari Tanjong Katong Primary School yang menjadi korban gempa di Sabah telah teridentifikasi, Minggu, 7 Juni 2015.
Kementerian Pendidikan menyatakan identitas jasad itu adalah Ameer Ryyan bin Mohd Adeed Sanjay, Emilie Giovanna Ramu, Matahom Karyl Mitzi Higuit, Rachel Ho Yann Shiuan, Sonia Jhala, dan guru yang bernama Loo Jian Liang Terrence Sebastian.
Selain itu, jasad pemandu wisata dari Singapura pun telah dikenali sebagai Muhammad Daanish bin Amran, yang bertugas menemani para siswa tersebut.
Kementerian juga telah mengkonfirmasi meninggalnya bocah 12 tahun bernama Peony Wee Ying Ping akibat gempa berskala 6 Richter tersebut pada Jumat, 5 Juni 2015.
Jenazah yang telah teridentifikasi ini merupakan bagian dari kelompok 29 anak-anak dan delapan guru yang mengadakan perjalanan ke Kota Kinabalu.
Orang tua Peony menceritakan, mereka sebetulnya tak mengizinkan anaknya mengikuti perjalanan sekolah tersebut. Alasannya, tak mudah mendaki ke tempat itu, apalagi dua bulan lagi akan ada ujian sekolah.
Namun gadis kecil itu menyukai kegiatan alam. Dia memohon kepada sang ibu, yang akhirnya mengizinkannya.
"Kalau anak-anak bersemangat, mereka akan melakukan apa pun juga. Sekarang anakku telah tiada," kata Alson Wee, 51 tahun, orang tua Peony, kepada harian berbahasa Cina, Lianhe Wanbao.
Jasad Peony diterbangkan ke Singapura pada Minggu, 7 Juni 2015. Sementara itu, korban lain yang selamat telah kembali ke Singapura pada Sabtu malam, 6 Juni 2015. Termasuk dua anak dan seorang guru yang sempat menjalani perawatan di Kota Kinabalu.
Para orang tua menyatakan anak-anak mengalami trauma akibat gempa tersebut. Hafiz Ahman, 43 tahun, guru, mengatakan keponakannya, Amal Ashley Lim, 12 tahun, sangat diawasi keluarganya sejak terjadi gempa. "Dia jadi lebih pendiam, karena dia dan temannya melihat teman-temannya yang lain terjatuh dan meninggal," ujarnya.
Hafiz menambahkan, mengutip cerita keponakannya, seorang guru meminta anak-anak yang selamat untuk tetap diam di tempat lalu pergi mencari yang lain. Namun guru itu tak pernah kembali.
Ini bukanlah pertama kalinya sekolah tersebut mengadakan tur perjalanan ke Gunung Kinabalu. Menurut majalah sekolah tersebut, Omeha Challenge, tahun lalu, sekolah mengadakan kegiatan serupa.
Minggu, 7 Juni 2015, para alumnus dan warga setempat mengunjungi Tanjong Katong Primary School. Sekolah itu membuat situs agar orang-orang bisa menuliskan harapannya buat korban yang belum ditemukan.
STRAIT TIMES | NIEKE INDRIETTA