TEMPO.CO , Yogyakarta :Sejak awan Juni ini, terjadi dua kasus bunuh diri yang dilakukan warga lanjut usia yang sedang sakit kronis terjadi di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.
Kasus terbaru, pada 5 Juni 2015, dilakukan Sutikem, asal Desa Banyusoca, Kecamatan Playen. Perempuan berusia 70 tahun ini ditemukan tewas akibat gantung diri di sebuah kandang sapi milik tetangganya.
“Kami tak menemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh korban, murni bunuh diri dengan dugaan kuat akibat depresi penyakitnya yang diderita bertahun-tahun,” ujar Kepala Satuan Serse dan Kriminal Polres Gunungkidul Ajun Komisaris Polisi Herry Suryanto kepada Tempo, 5 Juni 2015.
Tewasnya warga Playen akibat bunuh diri itu hanya berselang satu hari dari bunuh diri serupa dengan cara gantung diri yang dilakukan lansia asal Desa Katongan, Kecamatan Nglipar Adi Wagino, 83 tahun.
Wagino yang dikenal telah pikun itu bunuh diri di sebuah pos kamling desa setempat. “Sama dengan yang di Nglipar sebelumnya, tak ada tanda-tanda penganiyaan, jadi langsung diserahkan pihak keluarga untuk dimakamkan,” ujar Herry.
Sedangkan pada Senin, 1 Juni 2015, remaja perempuan berusia 20 tahun asal Kecamatan Wonosari juga mencoba bunuh diri dengan menikam perutnya sendiri dengan sebuah pisau. Namun beruntung aksi itu berhasil diketahui dan si remaja diselamatkan warga dengan dibawa ke rumah sakit.
Dari data kepolisian Gunungkidul, angka bunuh diri -- baik yang berhasil atau gagal -- naik semenjak awal tahun 2015.
Selama Mei 2015, ada tiga kasus bunuh diri yang terjadi, dua kasus di Kecamatan Wonosari, dan satu kasus di Kecamatan Ponjong. “Rata-rata lansia, di atas 60 tahun dengan ciri menderita penyakit kronis dan depresi,” ujar Herry.
Psikiater sekaligus dokter spesialis kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Wonosari Gunungkidul Ida Rochmawati kepada Tempo menuturkan pendeknya jarak kasus bunuh diri di Gunungkidul belakangan terakhir berpotensi membuat kasus bunuh diri tahun ini akan lebih meningkat dibanding tahun sebelumnya yang masih tinggi.
Ini menjadi indikasi kuat ada problem serius terutama soal mental para lansia di Gunungkidul. “Polanya sama dari tahun ke tahun, yakni kalangan lansia, menderita penyakit kronis, merasa sendirian, akhirnya depresi dan memilih mengakhiri hidup,” ujar Ida.
Ida pun merunut kembali sejumlah pengamatan atas pasien-pasien yang pernah ditanganinya selama ini. Ada kondisi yang menyebabkan lansia seperti tersudut keadaanya dan seolah tak punya pilihan.
Pertama, angka harapan hidup yang tinggi di DIY ternyata tak selalu dimaknai berdampak positif dengan makin panjangnya usia. Sebab, bagi lansia seperti Gunungkidul, makin tinggi harapan hidup bisa menjadi beban.
“Biasanya lansia ini hanya tergantung pada usia produktif, tak punya penghasilan, padahal fisiknya sudah mulai sakit-sakitan, faktor degeneratif,” ujarnya. Kondisi ini diperburuk jika lansia hidup sendirian atau dibebani anaknya yang merantau mengasuh cucu-cucunya.
“Program-program pemerintah dari kesehatan sampai ekonomi masih belum berperspektif lansia, agar mereka mandiri dan juga mampu mengurus dirinya sendiri,” ujar dia.
Misalnya saja, belum ada bagian puskesmas secara khusus mengurus lansia yang setiap saat bisa cepat menangani jika ada keluhan penyakit dihadapi mereka. “Maraknya bunuh diri ini tak terkait mitos apapun, tapi murni kondisi sosial dan manajemen lansia yang tidak siap,” ujarnya.
Catatan Tempo dari data kepolisian Gunungkidul, kasus bunuh diri sepanjang tahun 2014 ada 21 kasus. Jumlah ini hanya turun sedikit dibanding tahun 2013 yang mencapai 29 kasus.
PRIBADI WICAKSONO