MUI: Buka-Tutup Warung Saat Ramadan Itu Tradisi

Editor

Zed abidien

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan. ANTARA/Rosa Panggabean
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan. ANTARA/Rosa Panggabean

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan Shaberah mengatakan ditutupnya warung makanan selama bulan Ramadan adalah tradisi. "Tradisi artinya memang pemilik warung yang muslim atas kesadarannya sendiri menutup," kata Amidhan saat dihubungi, Kamis, 11 Juni 2015.

Sejak dulu, ujar Amidhan, urusan buka-tutup warung selama Ramadan tidaklah terkait dengan kenegaraan. Menurut dia, tak perlu ada kontroversi mengenai apakah warung makanan harus dibuka atau ditutup selama bulan Ramadan.

Di beberapa daerah tertentu yang punya nilai Islam kental misalnya, Amidhan berpendapat, mayoritas muslim memang mengkhususkan bulan Ramadan untuk beribadah sehingga sengaja menutup warung. Daerah-daerah tersebut misalnya Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Aceh bahkan sudah membuat aturan warung makanan baru boleh beroperasi jelang buka puasa.

Walau begitu, kata Amidhan, di daerah lainnya warung tetap bisa dibuka karena banyak orang-orang yang masih membutuhkan. "Serahkan saja pada daerah masing-masing sesuai tradisinya."

Urusan buka-tutup warung selama bulan puasa menjadi kontroversi karena Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menyatakan melalui akun Twitter-nya bahwa orang yang tak berpuasa harus dihormati. Warung-warung, kata Lukman, juga tak perlu tutup selama Ramadan.

Pemerintah, kata dia, tak perlu membuat aturan apakah warung makanan harus ditutup atau tidak. "Pemerintah tak usah atur, serahkan pada tradisi dan kesadaran masyarakat."

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA