TEMPO.CO , Jakarta: Bayangan dari foto-foto itu terus terbayang: burung-burung cantik yang hidup bebas di Rawadano. Saya mendapatkannya dari teman sewaktu sekolah menengah atas yang tinggal di Serang. Dia terus mempromosikan tempat wisata alam tersebut dan membuat hasrat saya bergelora.
Mudah ditebak, Rawadano berasal dari kata rawa dan danau. Kawasan itu merupakan cagar alam yang terletak di Padarincang, Kabupaten Serang. Kesempatan menyaksikan langsung keindahan Rawadano datang bulan lalu, saat seorang teman mengajak bersepeda di sana. Kapan lagi bisa berkelana sambil mengayuh di kawasan yang menjadi tempat tinggal ratusan jenis burung, reptil, dan buaya tersebut. “Kalau beruntung, bisa juga melihat macan tutul," ujarnya.
Matahari baru mengintip di ujung timur saat kami menaikkan sepeda ke bak double cabin di Bekasi. Kurang dari dua jam kemudian--karena kemacetan Jakarta belum menggeliat--kami sampai di Serang.
Titik kumpul para pesepeda adalah pendapa kabupaten. Ada yang ingin mencapai rumah pohon Cidampit, menikmati angin laut di Anyer, atau sekadar melatih stamina di tanjakan menuju Panenjoan. Kelompok saya dipandu Kang Wawan dari komunitas Serang All Mountain, Seram, yang seharian itu bertugas sebagai road captain.
Menu pembuka perjalanan kami adalah hamparan aspal 23 kilometer menuju Panenjoan. Bagian itu didominasi tanjakan dan membuat rombongan mulai terpecah. Rintangan tidak hanya berasal dari gravitasi, tapi juga godaan deretan warung penjual durian. Di sepanjang jalan tercium harum durian, juga cempedak.
Beberapa kilometer menjelang Panenjoan, permukiman tidak lagi padat. Pemandangan di kanan-kiri jalan berganti menjadi pepohonan dan kebuh buah. Hamparan hijau itu membuat tubuh lebih segar.
Tanjakan semakin landai. Kami berhenti di sebuah tanah lapang di dekat kantor Cagar Alam Rawa Dano. Lokasi di Panenjoan Luwuk Mancak, titik tertinggi pendakian ini, menjadi tempat beristirahat sekaligus melihat bentang panorama Rawadano. Tempat ini dulunya merupakan kepundan gunung berapi yang tidak aktif, lalu menjadi danau, dan akhirnya menjadi rawa-rawa di atas danau.
Dari ketinggian, terlihat vegetasi yang berbeda. Hijau tua menandakan pohon-pohon besar, sedangkan hijau muda menunjukkan tanaman perdu dan sawah. Dari keterangan kantor cagar alam, rawa seluas 2.500 hektare ini merupakan danau hutan gambut alami, dengan luas lahan basah 1.860 hektare.
Kang Wawan menunjukkan kepulan asap di ujung kaki bukit yang akan menjadi tempat awal kami memasuki kawasan Rawadano. Perjalanan dilanjutkan dengan menuruni jalanan aspal sejauh 2 kilometer, lalu memasuki jalan setapak di hutan yang berbatasan dengan kebun penduduk. Jalannya agak menanjak. Semakin jauh, kanopi pohon makin tebal. Jalan tanah tertutup dedaunan kering, pertanda rute ini jarang dilalui. Hamparan dedaunan kering itu memberikan tantangan bagi pesepeda, terutama saat turunan. Sebab, saat mengerem, ban gagal "menggigit" tanah.
Keluar dari hutan, kami disambut jalanan semen mulus yang menurun curam. Jika rem blong, sepeda pasti keluar jalur. Seorang teman yang rem hidroliknya tidak berfungsi dengan baik terpaksa menuntun sepedanya dan tidak bisa menikmati bonus kesenangan dengan meluncur kencang di turunan.
Kenikmatan itu berakhir saat masuk ke perkampungan dengan sawah di kanan-kiri jalan makadam. Jalannya sih datar-datar saja, tapi jalan tanah bercampur batu membuat badan berguncang. Maklum, saya hanya menggunakan sepeda hard tail, yang tidak bersuspensi belakang. Di sebuah rumah di dekat rawa, kami beristirahat sambil menunggu nasi--bekal makan siang di tengah rawa--selesai ditanak oleh seorang ibu di Kampung Baru.
Di kampung terakhir itu, sepeda dinaikkan ke dalam sampan. Karena hanya satu sampan yang beroperasi, rombongan dibagi dua--masing-masing sebelas orang. Saya di rombongan pertama, yang juga memuat alat masak dan bahan makanan.
Perlahan Kang Wawan mengayuh dayung menyusuri sungai kecil--satu dari 15 sungai yang mengairi Rawadano--itu. Beratnya beban membuat tepian perahu hanya 20 sentimeter dari air. Menegangkan, mengingat rawa itu merupakan rumah buaya. Terlebih, kami juga melihat seekor ular hitam yang melilit batang pohon yang melintang di dekat kami.
Ketegangan meningkat saat kami mendapati lapisan tanah liat penambal bocor di lambung kiri mulai mengelupas. Air mulai masuk. Tak lama kemudian, tambalan itu betulan jebol. Air mengalir deras memenuhi perahu. "Bocor, bocor," demikian pekik menggema. Kepanikan menyelimuti “kesebelasan” itu.
Kami tercebur ke air, yang ternyata hanya sepinggang. Hal pertama yang kami selamatkan adalah nasi dan bahan makanan. Kami berlomba mencapai tepian rawa yang kering. Setelah semua menepi, barulah sepeda diselamatkan.
Di pos cagar alam, Kang Wawan menyajikan sop ikan kuwe. Kami makan bersama di atas daun pisang, dan diakhiri kopi yang diseduh dengan campuran rempah-rempah. Sementara itu, burung-burung--tercatat sekitar 250 jenis tinggal di sana--seperti tidak pernah capek bernyanyi, mengiringi makan siang kami.
Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri pinggiran sungai sampai ke daratan yang memungkinkan untuk menggowes. Jika musim kering, sepeda bisa langsung dikayuh dari saung, menyusuri sungai, sampai perkampungan terdekat. Bersepeda di pinggiran sungai kecil ternyata tidak mudah. Kurang keseimbangan, langsung nyemplung.
Setelah beberapa jam menyusuri pematang sungai dan sawah, kami mencapai permukiman, dan perjalanan berakhir di pemandian air panas di Batu Kuwung menjelang matahari terbenam. Penat setelah mengayuh seharian langsung hilang setelah berendam di sumber air panas tersebut.
RULLY KESUMA