TEMPO.CO , Malang - Wakil Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Imam Wahyudi mengajak jurnalis profesional untuk mendirikan perusahaan pers. Tujuannya, memberikan keberimbangan informasi dan media massa yang selama ini dikuasasi 12 kelompok media.
"Diversifikasi media, kepemilikan media akan menghadirkan media yang sehat," katanya dalam diskusi media "Membedah Malapraktik Media Siber" di Universitas Merdeka Malang, Minggu 14 Juni 2014.
Jurnalis militan dan loyal kepada publik, katanya, akan menjadi kekuatan baru dalam memberikan berita yang sehat. Termasuk gerakan aktivis mahasiswa, harus bergerak menggunakan media siber. Seperti pada 1998, para aktivis menggunakan diskusi, dan membagikan tulisan kritis kepada pemerintah di internet untuk menghindari bredel.
Pertumbuhan media siber signifikan setiap tahun. Lantaran infrastruktur jaringan internet semakin baik dan tersebar di pelosok desa. Pembaca berita, pendengar radio dan penonton siaran televisi di media siber terus tumbuh. Rata-rata dua tahun terakhir bertambah dua sampai tiga kali lipat. Sebagian besar mengakses internet menggunakan gadget.
"Jika dikelola dengan baik, bakal mencegah oligarki dan monopoli media massa," ujarnya. Media alternatif itu, katanya, dibutuhkan jika media arus utama tak dipercaya atau tidak memperjuangkan kebutuhan publik. Tak hanya menyedia teks, tapi audio dan video sebagai sebuah terobosan menghadapi konvergensi media.
Sementara itu, Jurnalis Independen (AJI) Malang mendorong Pemerintah atau Dewan Pers mengeluarkan regulasi untuk membatasi kepemilikan media massa. Mengingat sebanyak 12 kelompok media menguasai produk media massa di tanah air. "Terjadi monopoli dan oligarki. Harus dihentikan," Kata Ketua AJI Malang, Hari Istiawan.
Praktik monopoli media, katanya, mengancam independensi ruang redaksi dan berimplikasi terjadinya monopoli informasi dan pemberitaan. Apalagi sebagian pemilik media berafiliasi dengan partai politik sehingga rawan menggunakan media untuk kepentingan politik seperti dalam Pemilihan Presiden lalu.
Sementara tahun ini tengah bergulir pemilihan kepala daerah. Hari juga mengingatkan konvergensi media yang mulai dilakukan kelompok media itu. Konvergensi media juga membawa dampak terhap beban kerja jurnalis. Seorang jurnalis bekerja menulis berita, mengambil foto, dan video. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh reporter, fotograferdan videografer.
Meski beban bertambah, namun jurnalis tak mendapat tambahan penghasilan. AJI Malang juga mengkritik media siber yang enyajikan berita vulgar, dan berdarah-darah layaknya koran kuning pada 1980-an. Mengabaikan dampak pemberitaan, etika dan pedoman media siber. Kerap menimbulkan malapraktik dalam kerja jurnalistiknya.
Meski berumur relatif muda dibanding media lain, media siber paling banyak dikeluhkan dan dilaporkan ke Dewan Pers. Demi mengejar kecepatan, eksklusifitas, hits, dan klik mereka mengabaikan akurasi, dan melanggar kaidah jurnalistik. "Juga banyak melanggar pedoman media siber," ujarnya.
AJI Malang menolak dana APBD/APBN untuk jurnalis. Tak hanya menciderai dan melecehkan jurnalis, dana tersebut mengarah kepada tindak pidana korupsi. Pemerintah didesak untuk mengalokasikan dana untuk kepentingan yang jauh lebih bermanfaat bagi kepentingan publik.
"Praktik semacam itu mempengaruhi independensi jurnalis," ujarnya. AJI Malang mendesak perusahaan media untuk memberikan upah yang layak. Memberikan jaminan sosial, agar jurnalis nyaman dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Meminta perusahaan media menghentikan praktik tak manusiawi dalam mempekerjakan jurnalis. Seperti memperkerjakan jurnalis tanpa status yang jelas dan upah yang layak. Kesejahteraan jurnalis berimplikasi pada hasil karya jurnalistik yng dihasilkan dan berkait erat dengan profesionalisme dan independensi pers.
EKO WIDIANTO