Kisah Makam Keramat di Masjid Luar Batang

Editor

Nur Haryanto

masjid luar batang
masjid luar batang

TEMPO.CO, Jakarta -  Masjid Luar Batang ada di tengah kampung padat permukiman buruh dermaga dan nelayan di Penjaringan. Berada di antara gang sempit, sekitar 300 meter dari jalan utama Pasar Ikan, yang jelas, masjid ini mampu menjadi pelindung dari hawa panas musim kemarau di Jakarta Utara.

Masjid Luar Batang tergolong masjid tua di Jakarta. Konon, masjid ini dibangun pada 1732 oleh Alhabib Husein bin Abubakar bin Abdillah Al 'Aydrus. Ia tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia, dari Hadramaut, Yaman, ketika wilayah Luar Batang masih berupa rawa-rawa.

Luar Batang sebenarnya julukan bagi sang Habib. Cerita turun-temurun menyebutkan, ketika ia wafat (1756), Belanda melarang jenazahnya dimakamkan di daerah itu. "Para pendatang harus dimakamkan di Tanah Abang, begitu bunyi peraturan saat itu," kata Yudo Sukmoyo, pengurus masjid.

Hanya, ketika diusung dengan kurung batang (keranda dari bambu), para pengikutnya menemukan jenazah Habib Husein tak ikut serta. Sebaliknya, jenazah malah didapati kembali ke kediamannya, tak jauh dari masjid.

Kejadian itu berulang tiga kali hingga para pengikutnya bermufakat untuk memakamkan di tempatnya sekarang, di sisi kanan Masjid Luar Batang. "Makam itu hingga kini masih ramai oleh peziarah," kata Yudo.

Kini, hampir tiga abad berlalu, sisa bangunan asli memang sudah tak tampak lagi. Seluruh bangunan sudah dirombak total pada 1992. Kubah masjid yang semula berbentuk bawang diganti dengan kubah joglo.

Sebanyak 12 tiang utama dari kayu juga dibongkar dan diganti dengan pilar beton. Sementara itu, lantai kayu dan ubin sudah diganti dengan keramik dan batu granit. Selain itu, masjid kini memiliki sejumlah kamar untuk para peziarah ataupun musafir yang datang atau singgah.

Mila sendiri menyatakan tidak tahu alasannya menyukai Masjid Luar Batang. Hanya, setiap hari mulai petang, seperti yang ditunjukkannya pada Sabtu pekan lalu, dia bergairah beringsut ke atas karpet abu-abu yang digelar Yudo di pelataran utara masjid.

Di sana dia bergabung dengan sekitar 200 orang lainnya untuk berbuka bersama; bagian lain dari tradisi yang dijaga di masjid itu. Menyantap takjil memang tak dibutuhkan waktu lebih dari 15 menit. Namun menantikan dan menikmatinya telah menghadirkan kebersamaan bagi mereka yang hadir di sana.

Mungkin suasana inilah yang membuat Mila setia selama tujuh tahun terakhir. Dia rela meninggalkan kampung halaman selama Ramadan. "Di rumah memang sepi, di sana saya sendiri," ujarnya sembari menyeruput kuah kolak terakhir dari cangkir plastiknya.

PINGIT ARIA