TEMPO.CO , Jakarta: Longgarnya pengawasan di perbatasan menyebabkan narkotik leluasa melenggang masuk Indonesia. Berdasarkan riset Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia dan Badan Narkotika Nasional pada 2011 hanya lima persen upaya penyelundupan narkotik yang berhasil digagalkan. Selebihnya, 95 persen, lolos dan beredar di Indonesia. "Sekarang tidak jauh berbeda," ujar mantan Deputi Pemberantasan BNN Benny Mamoto.
BNN memperkirakan selama 2014 sekitar 220 ton sabu dan 13 juta butir ekstasi lolos dan beredar di masyarakat. Itu belum termasuk narkotik jenis lain seperti hashish, kokain, dan heroin. "70 persen diselundupkan dari Malaysia," ujar juru bicara BNN Slamet Pribadi. Selain dari Malaysia, narkotik juga masuk dari Timor Leste dan Papua Newginea. "80 persen masuk memanfaatkan jalur laut."
Harga narkotik di Indonesia sebenarnya tidak murah. Sabu misalnya, harganya bisa mencapai kisaran Rp 2,1-3,3 miliar, nomor dua paling mahal di dunia setelah Australia. Namun jumlah pencandu seolah tidak pernah surut. Jumlah pengguna narkotik di Indonesia tahun lalu mencapai 4 juta orang. Alhasil Indonesia menjadi pasar narkotik di ASEAN.
Akibatnya luar biasa. Perkiraan total kerugian materi akibat penyalahgunaan narkotik tahun lalu Rp 62,9 triliun. Bahkan korban meninggal mencapai 12.044 orang per tahun, artinya rata-rata 33 orang tewas per hari akibat narkotik di Indonesia.
Menanggapai serbuan narkotik dari perbatasan, pemerintah telah membentu Satuan Tugas Interdiksi yang berada di bawah kendali BNN. Anggotanya adalah Bea-Cukai, Imigrasi, Karantina, Otoritas Bandara, Kementerian Perhubungan, Angkatan Lautm dan Badan Keamanan Laut. Namun hingga kini tim itu buru memiliki gugus tugas di 26 titik, sebagian besar adalah di bandar udara internasional. "Kendalanya jumlah personel yang terbatas," ujar pelaksana tugas Direktur Interdiksi Badan Narkotika Nasional (BNN) Agung Saptono. (Baca selengkapnya di investigasi Majalah Tempo pekan ini)
TIM INVESTIGASI TEMPO