TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari menyatakan, 59 persen pernikahan dilakukan perempuan pada usia anak-anak atau di bawah 18 tahun. Seluruh pernikahan tersebut rentan terhadap masalah fisik, psikologis, hingga potensi kematian.
"Perempuan terjebak dalam aturan hukum yang memperbolehkan mereka masuk dalam perkawinan anak," kata Dian di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis, 18 Juni 2015.
Menurut Dian, seluruh koalisi perempuan dan koalisi 18+ sangat kecewa terhadap putusan MK yang berkukuh menetapkan batas usia minimal perempuan menikah adalah 16 tahun. Pemerintah dituding turut dalam diskriminasi gender yang merampas hak pendidikan dan kesehatan pada perempuan.
Koalisi memaparkan, 20 persen pernikahan yang terjadi dilakukan perempuan dengan jarak usia 13-15 tahun atau di bawah usia minimal yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jumlah perempuan yang menikah pada usia 15-17 tahun juga sangat tinggi yaitu sekitar 39 persen.
Dalam usia tersebut, menurut Dian, perempuan belum memiliki organ reproduksi yang kuat dan sempurna untuk hamil dan melahirkan. Akibatnya, pernikahan anak atau dini menyumbang angka yang tinggi dalam tingkat kematian ibu dan bayi saat melahirkan.
Selain itu, pernikahan anak juga merampas kesempatan dan hak perempuan untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi. UU Perkawinan dituding melindungi sistem yang membuat wanita jadi miskin dan tak berdaya.
"Kami akan melakukan upaya hukum lainnya. Proses legislasi juga ditempuh dan tidak akan berhenti sepanjang demi keamanan dan pemenuhan hak dan kesejahteraan di masyarakat," kata Dian.
Ia juga menyatakan, koalisi sangat heran terhadap putusan MK yang seolah tak melindungi hak konstitusi perempuan. MK justru seperti pengadilan agama yang dalam pertimbangannya lebih banyak mengutip ayat-ayat agama ketimbang kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat. "Rujukannya bukan konstitusi, tapi agama," kata Dian.
FRANSISCO ROSARIANS