TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki memastikan Presiden Joko Widodo menolak usul rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Jokowi, kata Ruki, tak akan membahas revisi beleid tersebut bersama Dewan Perwakilan Rakyat.
"Tadi yang jelas dikatakan Presiden tidak ada keinginan dari pemerintah untuk melemahkan KPK. Untuk itu, Presiden menolak usul revisi UU KPK," ujar Ruki di kantor Presiden, Jumat, 19 Juni 2015.
Revisi beleid difokuskan pada empat persoalan. Pertama, menegaskan posisi hukum KPK, yaitu undang-undang lex specialis. Kedua, memperluas kewenangan KPK untuk mengangkat dan mendidik penyidik. Ketiga, masalah keberadaan dan kewenangan komite pengawas. Terakhir, berkenaan dengan penataan kembali organisasi KPK.
Ruki mengaku lega dengan putusan Jokowi. Ia mengatakan, untuk seterusnya, KPK akan bekerja berdasarkan beleid yang sudah ada. Meskipun begitu, KPK akan tetap memberikan masukan kepada DPR. "Tentunya kami tak mungkin memberikan masukan-masukan yang akan memperlemah kami sendiri," kata Ruki.
Ruki mengatakan revisi beleid tentang instansinya akan dilaksanakan setelah revisi Undang-Undang KUHP dan KUHAP rampung. "Sebetulnya ini, kan, masuk prolegnas 2016, bukan 2015, tapi tak tahu kenapa ada percepatan. Tapi Presiden menolak, kan DPR sebagai salah satu pembuat UU tak bisa memaksakan," tuturnya.
Ihwal usul pasal KPK dapat menghentikan penyidikan, kata Ruki, belum terlalu mendesak. Dengan tak adanya surat penghentian penyidikan perkara, KPK malah ditantang kerja lebih keras sehingga tak ada celah untuk bisa dinyatakan tak cukup bukti. "Usul saya itu demi hukum, misalnya meninggal dunia. Kalau orang meninggal, masak harus diteruskan pemeriksaannya," ucapnya.
TIKA PRIMANDARI