TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, menolak rencana alokasi dana aspirasi. Menurut dia, gagasan itu akan melahirkan komplikasi terhadap penggunaan dana desa. “Mekanisme itu jelas akan tumpang tindih,” ujarnya, Rabu, 24 Juni 2015.
Gagasan dana aspirasi dirancang anggota Dewan Perwakilan Rakyat guna menjembatani tuntutan konstituen terhadap pembangunan di daerah pemilihan mereka masing-masing. DPR meminta pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 11 trilliun atau Rp 20 miliar untuk setiap anggota setiap tahunnya.
Menurut Budiman, gagasan dana aspirasi tak lagi relevan dengan diberlakukannya Undang-Undang tentang Desa. Sebab, aturan itu mengamanatkan alokasi anggaran pembangunan desa sebesar Rp 1 miliar setiap tahun.
“Masyarakat di akar rumput bisa bersinggungan dengan dana itu,” katanya.
Dari sisi peruntukan, menurut Budiman, dana desa bisa dimanfaatkan masyarakat untuk pembangunan sarana fisik seperti pembuatan atau perbaikan jalan, jembatan, sekolah, modal usaha rakyat, hingga beasiswa pendidikan.
“Ini perintah UU. Lalu dana aspirasi untuk apa lagi?” ujarnya.
Bahkan, kumpulan desa juga bisa membuat proyek bersama jika sarana yang ingin dibangun bersinggungan dengan kebutuhan desa lain.
“Dalam UU dikenal Badan Kerjasama Antar Desa. Konsep itu mengintegrasikan pengelolaan anggaran untuk kepentingan antar desa,” kata Budiman.
Budiman juga menyangsikan alasan pemerataan yang melatari gagasan dana aspirasi. Sebab, apa yang diperjuangan anggota DPR nantinya hanya akan menjawab keinginan para konstituennya.
“Ini sarat dengan muatan politis. Bagaimana mungkin menjawab tuntutan konstituen yang tidak memiliki wakil di DPR?” ujarnya.
Hingga saat ini, kata dia, anggaran yang dikucurkan untuk 74 ribu desa di seluruh Indonesia mencapai Rp 20,7 trilliun atau hampir 300 juta untuk masing-masing desa. Besaran dana akan bertambah setiap tahunnya untuk menjalankan amanat UU, yaitu Rp 1 miliar.
“Realisasinya ada di tahun 2017,” ujarnya.
RIKY FERDIANTO